Laura Romano: Spiritualis Jawa dari Negeri Pizza

Laura Romano (memegang mik) saat menyampaikan pengalamannya sebagai spiritualis Sumarah. (Foto: T-Kh)

[Magelang -elsaonline.com] Dari tampilan luar, jelaslah bahwa wanita tersebut bukanlah orang Indonesia. Apalagi kalau kita tahu namanya, Laura Romano. Menilik nama belakangnya, orang akan menebak pasti, kalau wanita berusia 65-an tahun itu berasal dari Italia. Persis. Laura berasal dari negeri pizza, tetapi sudah lebih dari 40 tahun menjadi warga negara Indonesia.

Laura tak sekadar berganti kewarganegaraan. Ia betul-betul jatuh cinta pada budaya Nusantara. Ia mendalami Sumarah, yang ia sebut sebagai “… a philosophy, a form of meditation, and a way of life originating from Java.” Ia kemudian menulis sebuah buku tentang Sumarah serta bagaimana ia melewati kehidupannya sebagai penganut Sumarah sejak 1975.

Laura datang ke Indonesia saat menjadi mahasiswa filsafat di sebuah Universitas di Italia. Singkat cerita, Laura kemudian tinggal di Solo dan mendalami Sumarah. Suwondo Hardosaputro merupakan pamongnya. Dalam Sumarah, tidak dikenal guru, hanya pamong yang menuntunnya. Sejak tahun 1990-an, Laura aktif membuat workshop dan praktik meditasi Sumarah di Eropa.

“I’m not a spiritual seeker pada awalnya,” Laura memulai ceritanya saat ia mempresentasikan tentang Sumarah pada acara Borobudur Writer and Cultural Festival 25 November 2017 kemarin di Magelang, Jawa Tengah.

Bahkan, mungkin ia dekat dengan ateisme. “Saya saat itu berpikir bahwa orang yang menggumuli spiritualitas adalah mereka yang lari dari kenyataan karena tidak mampu mencari solusi atas persoalan hidup. Itu pikiran awal saya tentang mereka yang berkutat dengan kerohanian,” tambahnya.

Orang-orang Eropa biasanya mencari makna batin ke India, sekaligus jalan-jalan tentunya. Tapi Laura kemudian juga datang ke Indonesia dan sampai di Solo. Baginya, Solo memercikkan suasana yang berbeda. “Ada suasana yang sangat rileks serta kesan kebudayaan yang sangat dalam,” kata Laura.

Bagi masyarakat Jawa, yang lebih ditekankan adalah soal rasa. “Jadi hidup itu bukan dipikir, tapi dirasa,” tegasnya. Rasa memiliki peran sentral dalam laku masyarakat Jawa. Di Barat, rasa itu dimaksudkan sebagai emosi untuk menjadi lawan dari rasio atau pikir. Padahal dalam kamus orang Jawa, rasa itu bukan emosi.

Di Sumarah, Laura menemukan proses meditasi dan pendalaman spiritualitas yang sangat mengena. “Fokus meditasinya ke dalam. Dengan relaksasi mendalam, membuat mereka lebih fokus. Orang-orang Barat lebih tertarik dengan Sumarah karenanya,” kata Laura yang kemudian menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Sumarah: Spiritual Wisdom from Java.

Sumarah itu artinya pasrah. Tapi kata Laura, pasrah disini bukan berarti sikap fatalistik. Pasrah dalam ajaran Sumarah merupakan kondisi dalam. “Pasrah itu koma, bukan titik,” Laura mengibaratkan. Baginya, mengalami sesuatu itu lebih penting dari sekadar meyakini. Disinilah pentingnya memahami bahwa ada dimensi lain selain yang bisa dilihat, diraba dan lainnya.

Karena fokus ke dalam, maka pemahaman Laura terhadap yang Maha Kuasa juga menjadi sangat esensialis. Tuhan itu, kata Laura, lebih dari sekadar definisi tentangNya. “Semakin kita berhasil mendefinisikan Tuhan, maka sesungguhnya kita gagal memahamiNya,” ujarnya. [T-Kh/001]

 

Pewarta: T-Kh (elsaonline.com)
Terbit Senin, 27 November 2017