Arkeolog Menjawab Klaim Borobudur Sebagai Peninggalan Nabi Sulaiman

(Foto: Ngasiran)

Isu Mandala Agung Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman telah lama merisaukan masyarakat dan dianggap sebagai bentuk pembodohan publik. Hal ini berawal ketika Fahmi Basya yang mengeluarkan buku Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman.

Klaim seperti ini janggal bagi kebanyakan orang yang melek ilmu pengetahuan, apalagi bukti-bukti sudah sangat menjelaskan bahwa Mandala Agung Borobudur adalah Candi Buddha. Dalam sesi seminar Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2017 pada Jumat (24/11), klaim ini sempat menjadi diskusi yang menarik.

Dr. Niken Wirasanti

Dr. Niken Wirasanti, seorang dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam sesi “Gandawyuha dan Esoterisme Borobudur”, sempat bercerita bagaimana kegaduhan dalam diskusi yang menghadirkan Fahmi Basya di UGM.

“Beberapa waktu yang lalu, fakultas arkeologi UGM mengundang Fahmi Basya dalam seminar Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman. Saya biarkan saja mereka mau memanggil Si Fahmi. Saya mengatakan kepada mahasiswa bacalah sampai khatam (utuh). Mengapa ada arca? Bolehkah Islam menggambarkan arca? Kemudian mereka bingung. Jadi, ya saya biarkan saja mereka mencari jati dirinya,” terang dosen berjilbab ini.

“Saat seminar itu terjadi, saya sendiri hadir. Luar biasa audiensnya, ada yang pro Fahmi dan ada yang kontra Fahmi. Dia mempelajari tentang tanda matematika. Jadi matematika itu dipelajari, dihitung-hitung ada 72. Jadi, 72 itu dipelajari dari apa-apa-apa, pokoknya ada unsur matematika di Borobudur. Tapi mereka lupa bahwa di Buddha dan Hindu juga ada matematikanya!” kelakarnya.

Tetapi menurut Niken, satu hal yang mereka ceroboh adalah tentang prasasti, “Kalau itu peninggalan Islam kan pasti prasastinya berbahasa Arab. Tapi prasasti tentang Borobudur ini kan tulisan Jawa kuno. Di relief Karmawibhangga itu juga Jawa kuno. Yang saya tidak habis pikir juga kenapa mereka memakai istilah stupa juga untuk menjelaskan bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman, kenapa tidak memakai istilah yang lebih Islami gitu?” pungkasnya.

Goenawan A. Sambodo (berkacamata)

Sementara itu pendapat lain diutarakan Goenawan A. Sambodo, seorang arkeolog lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada yang beberapa waktu lalu ditemui oleh BuddhaZine di sela-sela ekspedisi candi kuno di sekitaran Temanggung.

Menurutnya, boleh saja orang berpendapat. Kita harus menyikapi ini, ya biasa-biasa saja. Dalam artian, seperti itu adalah isme yang dikembangkan oleh orang-orang untuk memaksakan kedunguan isme-nya.

“Meskipun mereka mempunyai dasar matematika Islamlah, penelitianlah, apalah, dengan segala macam tetek bengeknya. Tetapi kan itu sudah jelas-jelas peninggalan Buddha terlepas Mahayana atau Tantra. Banyak referensi ilmiah mengatakan bahwa ini Candi Buddha,” ungkap ahli aksara Jawa kuno yang akrab dipanggil Mbah Gun ini.

Meskipun demikian, menurutnya hal ini juga harus disikapi. “Tapi yang menjadi masalah, (klaim) Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman ini sudah menjadi wabah ke sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan Islam. Ini yang perlu disikapi, dengan menulis blog atau mungkin perjalanan seperti ini dengan dokumentasi video. Bagaimana cerita Gandawyuha, Lalitavistara, Jataka Avadana yang ada di relief-relief Borobudur itu,” tambah Mbah Gun.

Sebenarnya, menanggapi klaim ini, para arkeolog pun berusaha untuk mengambil sikap dengan mengajak diskusi Fahmi Basya. Tetapi selama ini, menurut Mbah Gun, si penulis buku itu tidak pernah mau hadir dan berdiskusi bersama.

*) BuddhaZine adalah media partner BWCF 2017

Pewarta: Ngasiran (Buddhazine.com)
Terbit Jumat, 24 November 2017 21.53 PM