Pembangunan Borobudur untuk Hargai Nilai-nilai Kemanusiaan

Sejumlah pelajar mengunjungi Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (19/5/2016). (ANTARA FOTO/Ivan Pramana Putra)

Magelang, ANTARA JATENG – Pembangunan Candi Borobudur bertujuan untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan, memberi marga untuk hidup yang bermakna dan mewujudkan masyarakat yang bertoleransi, damai, dan sejahtera, kata pengajar di Potowa Center Jakarta, Salim Lee.

“Fungsinya sebagai bhumisambhara, ladang pengumpulan benih dan daya kebajikan, sebagai contoh dan sarana untuk membumikan ajaran dan dharma sebagai arah dan pegangan hidup,” katanya di Magelang, Jumat.

Ia menyampaikan hal tersebut pada Borobudur Writers and Cultural Festival 2017 dengan tema “Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-Agama Nusantara”, katanya.

Selain itu, katanya sebagai sumber pembelajaran yang memungkinkan dicapainya potensi tertinggi keberadaan manusia, sebagai ajaran tentang kepedulian, toleransi dan kemajukan untuk hidup bermanfaat di tengah masyarakat, dan sebagai perwujudan nyata hasil mahakarya yang menampilkan seni dan budaya lokal dengan standar mutu yang sangat tinggi.

Ia menuturkan gandawyuha dipilih sebagai sutra utama di Borobudur karena merupakan salah satu sutra yang mencerminkan keluasan dan kedalaman darma ajaran Buddha.

Menurut dia gandawyuda dipelajari dan dihayati oleh banyak umat di berbagai negara di Asia, diterjemahkan berkali-kali dari bahasa Sansekerta ke beberapa bahasa dan dalam kurun waktu beberapa abad menjadi pedoman bagi umat awam, para sangha, masyarakat umum maupun para raja.

Ia mengatakan gandawyuha di Borobudur merupakan tantangan tetapi sekaligus kesempatan yang luar biasa untuk membabarkan kerangka ajaran Buddha secara bertahap, lengkap, dan menyeluruh.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Niken Wirasanti mengatakan arsitektur Candi Borobudur dengan fokus pada relief naratif gandawyuha memiliki peran penting sebagai penanda dan menggambarkan perjalanan spiritual tokoh Sudhana.

Pengembaraan Sudhana tanpa lelah dalam upayanya menyingkirkan hasrat duniawi melalui jalan delapan telah dilalui hingga tahap terpenting adalah konsentrasi yang benar (samadhi).

Ia mengatakan keteguhan Sudhana berguru kepada sejumlah guru dan orang-orang bijaksana dalam upaya menggapai nirwana merupakan contoh yang tepat bagi siapa pun peziarah yang menelusuri lorong-lorong Candi Borobudur tingkat dua, tiga, dan empat sebelum memasuki dunia tanpa rupa.

Pewarta : Heru Suyitno (Antarajateng)
Terbit Sabtu, 25 November 2017 06:59 WIB