Prosiding Call for Papers, BWCF 2019

Segera!!

Toleransi dan pluralisme dalam kisah Gandawyuha

Mengembara, menemui satu guru ke guru lain untuk mencari kebenaran sejati merupakan hal lazim dalam semua agama dan tradisi-tradisi dunia kerohanian mana pun. Dalam dunia santri, sudah sangat umum seorang santri berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain belajar ilmu yang berbeda-beda kepada para kyai. Demikian juga penziarahan-penziarahan Katolik atau agama lain.

Dalam agama Budha, proses pencarian ketuhanan ini tergambar melalui 460 buah Relief Gandawyuha yang dipahat pada dinding lorong dua, tiga, dan empat Borobudur. Gandawyuha merupakan kisah esoteris Agama Buddha Mahayana mengenai anak muda bernama Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi.

Sudhana melakukan perjalanan religi keliling India untuk menemui guru-guru atau para sahabat spiritual. Kisah suci ini diperkirakan muncul pada awal abad 1 Masehi di India Selatan dan kemudian menyebar ke seluruh Asia.

Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) menganggap relief Gandawyuha di Borobudur sangat relevan dibicarakan di tengah kecenderungan fanatis dan intoleransi agama saat ini. BWCF merasa bahwa pencarian ketuhanan dalam kisah Gandawyuha ini sangat universal dan mencerminkan tingkat toleransi agama yang tinggi.

Berdasarkan pemikiran tersebut, ajang BWCF 2017 akan diselenggarakan pada 23-25 November 2017 di Yogyakarta dan Magelang dengan mengusung tema “Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara”.

Ajang ini merupakan upaya mengangkat khazanah pengetahuan dan peradaban nusantara yang dihadiri pelbagai pihak, antara lain para budayawan, akademisi di dalam maupun luar negeri, peneliti, jurnalis, penulis, novelis, penyair, seniman, musisi, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat.

Setiap perhelatan BWCF selalu hadir tidak kurang 350 orang untuk saling bertukar pemikiran, bertukar karya buku, dan yang tidak kalah penting adalah memperkukuh persahabatan di antara sesama. Sejumlah acara akan digelar dalam BWCF 2017, di antaranya seminar, pentas kolaborasi tari-rupa-musik, pembacaan puisi, meditasi pagi, pemutaran film, pameran foto, dan pesta buku.

Perhelatan BWCF 2017 akan ditutup dengan penyerahan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada sosok yang selama ini mendedikasikan diri dalam penelitian Candi Borobudur, tempat Relief Gandawyuha terpatri 1.000 tahun lebih. Penghargaan ini merupakan apresiasi kepada mereka yang dengan setia melakukan penelitian Candi Borobudur demi pengetahuan peradaban nusantara.

Informasi selengkapnya mengenai acara BWCF 2017 bisa Anda dapatkan pada tautan ini.

 

Catatan redaksi: Beritagar.id merupakan mitra media acara Borobudur Writers & Cultural Festival 2017.

 

Oleh : Irsan Suwanto (beritagar.id)
Terbit Rabu, 15 November 2017 10:45 WIB

Tidak Kurang dari 200 Seniman dan Budayawan Berkumpul di Borobudur Magelang

Tribratanews.jateng.polri.go.id, Magelang Polda Jateng – Dalam suasana hujan dan dinginnya malam di sekitaran Candi Borobudur Magelang, tepatnya Plataran Akhsobya, Jumat, (24/11)  tidak kurang dari 200 seniman dan budayawan berkumpul dalam rangka kegiatan 6th Borobudur Writers Cultural Fesvifal 2017 Gandawyuha berupa pertunjukan seni.

Hadir dalam kesempatan tersebut Romo Mudji Sutrisno.S.J Ketua Panitia, Seno Joko Wiyono redaktur kebudayaan majalah Tempo, Imam Muhtarom Pengajar di Univ Indraprasta PGRI Jakarta, Sudiarta ketua Sudimuja.

Romo Muji Sutrisno S.J selaku ketua Panitia menerangkan bahwa Borobudur Writers & Cultural Festival adalah sebuah festival tahunan yang diselenggarakan oleh Samana Foundation, sebagai wahana berupa pertemuan bagi para penulis dan pekerja kreatif serta aktivis budaya pada umumnya dalam kerangka dialog lintas batas dan pemahaman interkultural yang berbasis pada pengembangan dan perluasan pengetahuan atas berbagai khazanah.

Ditampilkan beberapa pertunjukan seni diantaranya Kolaborasi Instalasi Yoga Tari meRAGA jam oleh Nungki Kusumastuti, Maria Darmaningsih, Nyoman Sudewi, Yudi Widdyanto, Hanafi, Tony Prabowo,  Tarian Rupa Roti dan Ovos oleh Iwan Dodiono, Puisi I oleh Acep Zamzam Noor, Puisi II oleh Yudistira ANM Massardi, Angga Suara Murti oleh Kobagi ( Komunitas Badan Gila ), Tarian ” alif ” oleh Jefriandi Usman dan Pemberian Bunga dari semua Kreator.

Dalam acara tersebut Polsek Borobudur ikut serta dalam pengamanan agar berjalan dengan aman lancar tertib terkendali.

Penulis : Wahyu
Terbit November 25, 2017

Keragaman Agama Lokal di Borobudur Writers & Cultural Festival 2017

Seminar

  • Di ujung perhelatan BWCF 2017 akan diserahkan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada Nurhadi Magetsari

Salah satu pembicara di BWCF 2017, Laura Romano, menarik perhatian peserta dengan kisahnya menemukan kepercayaan pada Sumarah, sistem meditasi yang akarnya berasal dari Kejawen.

tirto.id – Salah satu tema yang diangkat dalam Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) yang digelar di Hotel Manohara Borobudur pada Sabtu (25/11/2017) adalah “Pengalaman Ketuhanan Penghayat dan Religi Nusantara”. Sesi seminar ini membahas tentang agama-agama lokal yang ada di Indonesia dan pengalaman penghayatannya.

Beberapa pembicara yang turut membagi pengalaman dalam seminar ini di antaranya, Romo Michael Keraf, yang mengangkat soal aspek Ketuhanan Merapu dan hak-hak adatnya; Teddy Kholiludin dengan pembahasan soal pengalaman beragama Samin; dan Sapto Darmo; kemudian Dewi Kanti, penganut Sunda Wiwitan, dan Laura Romano, penganut Kejawen-Sumarah.

Dewi, sebagai penganut Sunda Wiwitan bercerita soal kepercayaannya dan pengalamannya selama ini sebagai penganut salah satu agama lokal. Ia pun bersyukur karena saat ini pemerintah melalui putusan MK sudah mengakui mereka.

“Kami bersyukur bisa sampai tahap ini [pengakuan], sayangnya masih ada dikotomi agama dan aliran kepercayaan. Pejabat setingkat menteri masih menyebut kami sebagai ‘aliran’, yang berarti bukan dari sumbernya, padahal kami tumbuh dan berkembang di Indonesia, bukan ‘aliran’ yang berarti mengalir dari tempat lain,” kata Dewi.

Ia pun menjelaskan, bahwa yang utama dari agama-agama lokal di Nusantara adalah pada pola tuntutan laku, namun tidak memperebutkan kelembagaan.

Sementara itu, Laura Romano, menarik perhatian peserta dengan kisahnya menemukan kepercayaan pada Sumarah, sistem meditasi yang akarnya berasal dari Kejawen.

Laura dulunya merupakan warga negara Italia yang kemudian menjadi WNI setelah menemukan kepercayaan Sumarah, yang menurutnya lain daripada apa yang selama ini ia rasakan di Barat.

“Sumarah tidak ada ritual, salah satu aspek yang membuat orang Barat tertarik. Fokusnya adalah pada kondisi di ‘dalam’, tidak penting berapa lama Anda bermeditasi, yang penting itu apa yang Anda rasakan di ‘dalam’,” kata Laura.

Ia mengaku pertama kali menemukan Kejawen ketika ia berusia 24 tahun. Kini empat puluh tahun sudah ia menetap di Indonesia dan menemukan ‘rasa’ dalam kepercayaan Sumarah, yang berarti pasrah.

Selama menetap di Indonesia, Laura menyatakan tak pernah berhenti mengagumi kekayaan budaya, agama, dan suku di Indonesia. “Kekayaan ini harus kita jaga,” katanya.

BWCF berlangsung selama tiga hari mulai Kamis (23/11/2017) hingga Sabtu (25/11/2017). Acara ini diawali di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta. Selanjutnya di Hotel Manohara, dan pentas seni di Taman Aksobya, Lapangan Kenari di Kompleks Candi Borobudur, Magelang, dan diakhiri di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta.

Di ujung perhelatan BWCF 2017 akan diserahkan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada Nurhadi Magetsari yang mendedikasikan diri dalam penelitian Candi Borobudur, tempat Gandawyuha terpatri 1.000 tahun lebih.

Penghargaan ini merupakan apresiasi kepada mereka yang dengan setia melakukan penelitian Candi Borobudur. Penelitian ini dianggap menambah khazanah berharga bagi peradaban nusantara.

Setiap perhelatan BWCF selalu hadir tidak kurang 350 orang untuk saling bertukar pemikiran, bertukar karya buku, dan yang tidak kalah penting adalah memperkukuh persahabatan di antara sesama.

 

Reporter: Dipna Videlia Putsanra (Tirto.id)
26 November, 2017

Borobudur festival puts spotlight on pluralism

The 6th Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) opened on Thursday in Yogyakarta with a theme that focuses on Borobudur temple’s Gandawyuha reliefs. (JP/Tarko Sudiarno)

The 6th Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) opened on Thursday in Yogyakarta with a theme that focuses on Borobudur temple’s Gandawyuha reliefs.

Gandawyuha, the name of the reliefs on the walls of Borobudur’s second, third and fourth levels, centers on the story of a young man, Sudhana, who travels across India in search of the ultimate truth.

During his travels, he meets 53 gurus before meeting Bodhisatwa Samanthabadra, one of three bodhisattvas in Mahayana Buddhism tradition who, together with the other two bodhisattvas, Manjusri and Avalokikitesvara, represent the essence of Buddha’s character.

Catholic priest Mudji Sutrisno SJ said that, in his search for the ultimate truth, Sudhana met monks, nuns, traditional physicians and a high-class prostitute named Vasumitra, showing that the truth in the Gandawyuha perspective could come from anywhere in society.

“That was why BWCF considered Gandawyuha reliefs as one of the oldest references on tolerance and pluralism in Indonesia,” said Mudji, who delivered the opening speech at the festival along with archeologist Agus Widyatmoko.

A curator at the festival, Seno Joko Suyono said the annual event, first held in 2012, would run until Saturday at Borobudur temple in Magelang regency, Central Java as well in Yogyakarta.

He said the festival’s curators considered the reliefs as the “core” of Borobudur. “It’s very important to understand and study them because only by reading them can we really understand the deepest meaning behind the development of the temple,” Seno said.

He said the theme was chosen because there were no symposiums or seminars that specifically focused on Gandawyuha, a situation he attributed to archaeologists having primarily studied the reliefs from a physical perspective as opposed to studying its literary roots.

Mudji said Gandawyuha was the last section of Avatamsaka, a sutra (sacred text) carved on 460 reliefs of Borobudur, thus dominating the temple’s reliefs.

“So it’s very surprising Gandawyuha has never been seriously discussed,” said Mudji, a professor in philosophy at the Driyarkara College of Philosophy and festival consultant.

For the event, the organizing committee also invited researchers of local faiths, such as the Kaharingan, Marapu, Parmalin, Sumarah, Sunda Wiwitan faiths, to talk about similarities among the faiths’ interpretations of the spiritual journey.

Their presence in the festival, attended by some 250 participants this year, is timely as local faiths were recently recognized by the Constitutional Court.

The three-day festival offers various programs, including a morning meditation session at the foot of Borobudur led by three different instructors: Buddhist priest Santachitto leads a 30-minute sitting meditation, Jesuit priest Sudrijanto SJ teaches a 30-minute peace walk meditation and seasoned yoga instructor Yudhi Widiantoro offers 60-minute sunrise yoga.

Mahayana Buddhism expert Salim Lee is scheduled to talk about the Gandawyuha reliefs on Friday afternoon, while on Saturday morning he will take participants on walks through the temple to directly read the reliefs.

“I think reading reliefs directly from the temple like this has rarely been done. It’s therefore not surprising if not many people know about what the reliefs on levels two, three and four talk about,” Seno said.

Other programs include seminars, public speeches, exhibitions, documentary film screenings and arts and cultural performances.

Two documentaries, Hari Suryanto’s Swarnadwipa and Naswan Iskandar’s Sunyata: Mahavihara Muarajambi, are to be screened on Saturday. Both documentaries explore the Muarajambi site in Jambi, Sumatra Island, where noted Buddhist priest Atisha from India gained knowledge on Mahayana Buddhism teachings from a local guru named Serlingpa aka Dharmakirti.

Old manuscripts from Bali featuring the collections of KRT Manu W. Jayaatmaja Wangsawikrama, a senior Javanese manuscript expert of Gadjah Mada University (UGM), are on display in an exhibition open from Thursday to Saturday.

 

SRI WAHYUNI (THE JAKARTA POST)
Yogyakarta | Fri, November 24, 2017 | 09:18 am

Menjejaki Relief dan Meditasi di Borobudur Writers Festival

Candi Borobudur dilihat dari Punthuk Mongkrong, Giri Tengah, pada saat matahari terbit. Dataran Tinggi di Bukit Menoreh ini menjadi salah satu tempat favorit untuk menyaksikan keindahan matahari terbit. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Yogyakarta – Candi Borobudur yang basah menyambut rombongan Borobudur Writers & Cultural Festival. Gerimis pagi tak menyurutkan peserta menjejaki relief-relief candi bersama Pengkaji filosofi agama Buddha dan perkembangan sejarah Buddha Dharma di dunia dan nusantara, Salim Lee, Sabtu, 25 November 2017.

Baca: Borobudur Writers & Cultural Festival 2017 Angkat tema Gandawyuha

Salim memandu rombongan untuk membaca detail-detail relief Gandawyuha dan makna filosofinya. Gandawyuha menggambarkan usaha keras mencari kebenaran. Teks-teks tentang Gandawyuha selama ini jarang dibicarakan. Relief-relief yang menceritakan perjalanan Gandawyuha berada di lorong 2,3, dan 4 candi.

Sebanyak 460 panel relief Gandawyuha yang dipahatkan di dinding lorong-lorong tersebut jarang didiskusikan secara serius. “Pahatan-pahatan relief Gandawyuha memiliki ciri dan karakter nusantara. Ini menandakan kebudayaan nusantara yang berani dan percaya diri,” kata Salim kepada rombongan.

Salim Lee membawa peserta menyusuri relief-relief Gandawyuha dari pukul 05.00 dan berakhir pukul 07.00. Pada jam yang sama, peserta Borbudur Writers&Cultural Festival mengikuti meditasi di tengah gerimis.

Duduk bersila dalam suasana hening, peserta menghadap Candi Borobudur. Mereka ada yang berpayung dan mengenakan jas hujan untuk menghalau rintik-rintik hujan. Satu di antara peserta yang rajin mengikuti morning meditasi adalah Bernada Rurit. Selama dua hari (24 dan 25 November), Bernada mengikuti morning meditasi. Dia mengikuti prosesi pradaksina, memutari candi sebanyak dua kali “Meditasi menyadari semua alam semesta yang ada di sekitarnya, seperti air hujan” kata Bernada.

Menurut Rurit, meditasi itu gambaran pluralisme karena dalam pelaksanaannya meditasi itu dipimpin oleh orang dengan latar belakang agama yang beragam. Meditasi bisa dilakukan dengan orang yang berlatar belakang agama berbeda-beda. Itu memperkaya spiritualitas manusia. Kegiatan morning mediatation yang dipandu Romo J. Sudrijanta (untuk pradaksina), Yudhi Widdyantoro, (yoga) dan Bhikku Santacitto (meditasi).

Borobudur Writers & Cultural Festival yang berlangsung pada 23-25 November tahun ini mengambil tema Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara. Pesertanya di antaranya melibatkan para penulis, sastrawan, jurnalis, dan pemerhati budaya.

Borobudur Writers & Cultural Festival diisi beberapa kegiatan, di antaranya seminar, pertunjukan seni, pameran foto, pameran naskah kuno Jawa, dan stand buku dari para penerbit. Peneliti dan pemeluk kepercayaan kebatinan dan pelaku agama lokal diundang berbicara pada seminar. Mereka yang yang datang adalah Sudarto, penghayat agama lokal nusantara, Kaharingan, dan Marapu Pa Maringngi Pa Malala Humba.

 

Reporter: Shinta Maharani (Kontributor)
Editor: Nunuy Nurhayati
Terbit Sabtu, 25 November 2017 19:03 WIB

Identitas Budaya pada BWCF 2017

Gandwyuha  menjadi tema sentral dalam gelaran keenam Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) 2017 yang berakhir 25 November 2017 lalu. Sebagaimana tertulis di laman borobudurwriters.id, BWFC 2017 menghadirkan tema Gandawyuha sebagai upaya pencarian ketuhanan yang sangat universal. Sebab Gandawyuha mencerminkan tingkat toleransi agama yang tinggi. Kisah ini bahkan bisa membuktikan bahwa antara Borobudur dan Prambanan tidak terjadi kompetisi atau persaingan religi.

Dalam relief Gandawyuha misalnya, menurut ahli Buddha, Hudaja Kandahjaya terdapat sosok Mahadewa dari ikon Hindu yang ditampilkan lengkap dengan atribut Siwa. Gambaran ini menurutnya sangat berbeda dibanding lukisan serupa yang dibuat di Cina atau Tibet yang cenderung mendominasikan sangat Buddha dan tidak mencerminkan konotasi Hindu.

Mahadewa di dalam Gandawyuha berkedudukan sebagai salah satu kalyanamitra, seperti halnya Avalokiteswara atau Maitreya, yang juga berlaku sebagai kalyanamitra di dalam sutra tersebut.

Menurut Hudaja Kadahjaya, penelitian lebih lanjut terhadap Sutra Gandawyuha mengungkapkan bahwa sutra ini bukan hanya mengangkat derajat Mahadewa, melainkan juga anggota masyarakat makhluk lain yang berasal dari berbagai kalangan ikut menjadi kalyanamitra.

Hudaja menyebutkan, bahwa jika dihitung dengan cermat, komponen kelompok kalyanamitra yang berasal dari lingkungan agama Buddha bahkan hanya menyumbang 25 persen dari keseluruhan kalyanamitra yang disebut di Sutra Gandawyuha. Hampir 25 persen lainnya adalah makhluk halus, termasuk Mahadewa.

50 persen sisanya berasal dari kalangan lain, termasuk kaum Brahmana, cendekiawan, profesional, politikus, dan perumahtangga. Kaum perumahtangga, termasuk bocah lelaki maupun perempuan, hampir mencapai 25 persen dari total kalyanamitra.

Dilihat dari komposisi kalyanamitra itu maka Hudaja Kandahjaja berpendapat  Sutra Gandawyuha seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ajaran agama Buddha, yang berupaya mencapai pencerahan sempurna, sesungguhnya bisa diperoleh dari banyak sumber

Pendapat ini penting karena ini memperlihatkan bahwa pembangunan berturutan dua candi termegah di Indonesia Borobudur dan Prambanan sama sekali bukan karena persaingan atau politik agama, melainkan karena prinsip ajaran kebenaran itu tunggal.

Oleh karena itu, gelaran BWCF 2017, mendiskusikan Gandawyuha secara lintas disiplin, dengan mengundang para biku, arkeolog, ahli agama Buddha, peneliti sutra dan kalangan agamawan lain. Termasuk para peneliti dan penghayat kebatinan, olah jiwa, tradisi-tradisi silat di nusantara dan pelaku agama-agama lokal Nusantara. [Ali Ibnu Anwar/berbagai sumber]

 

REDAKSI SUTERA.ID
Terbit 26 November 2017

Foto Borobudur Writers & Cultural Festival

Pakar arkeologi Prof. Noerhadi Magetsari (kiri) menyampaikan makalah saat seminar mengupas makna relief Candi Borobudur rangkaian dari Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2017 di kompleks TWC Borobudur, Magelang, Jateng, Jumat (24/11/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Anis Efizudin)

Peserta Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2017 di TWC Borobudur, Magelang, Jateng mengamati naskah dari daun lontar pada pameran arsip kuno, Jumat (24/11/2-17). BWCF 2017. (JIBI/Solopos/Antara/Anis Efizudin)

 

JIBI/Solopos/Antara/Anis Efizudin
Terbit Minggu, 26 November 2017 01:50 WIB

BWCF 2017, Refleksi Pencarian Kebenaran dari Perjalanan Sudhana

Magelang pojokpitu.com, Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2017 dibuka dengan pidato kebudayaan dari Rm Mudji Sutrisno SJ pada tanggal 23 November 2017 malam di Ballroom Grand Inna Malioboro Hotel. Dalam pidatonya, Rm. Muji menyampaikan kebenaran dalam perspektif Gandawyuha bisa datang dari segala lapisan sosial manapun. Termasuk dari mereka yang dipandang rendah oleh masyarakat.

BWCF tahun ini dengan tema Gandawyuha  dan Pencarian Religiusitas Agama Agama Nusantara memang mengangkat perihal relief dalam Candi Borobudur yang mengisahkan Gandawyuha, sebuah sutra yang menceritakan perjalanan pemuda Sudhana mencari kebenaran.

Dalam perjalanannya, pemuda Sudhana menemui banyak orang. Namun hanya 25 persen dari orang yang ditemuinya ini adalah guru agama Budha. Sementara 25 persen lagi adalah mahluk halus dan 50 persen adalah kaum Brahmana, cendekiawan, profesional, politikus, orang biasa. Bahkan salah satunya, seorang pelacur berkelas tinggi bernama Vasumitra.

“Kisah ini memberikan makna mendalam yang penting untuk ditarik ke dalam perspektif kehidupan berbangsa di negara ini. Kebenaran yang diyakini dalam beragamnya agama memang perlu untuk mendapat respek yang sama. Pengalaman religiusitas dari seorang Buddha, ataupun seorang Kristen ataupun seorang Muslim bisa jadi memiliki subtansi yang sama yang berupa pengalaman transsendental yang menyuarakan kearifan ekologis sampai kepekaan kasih sayang terhadap sesama,” terang Rm Mudji Sutrisno SJ.

DR  Agus Widiatmoko juga menyampaikan uraian penelusuran keberadaan Muarajambi. “Dalam penelusuran ini, kita menemukan banyak pemahaman baru yang selama ini tertutup. Pemahaman baru ini akan menjadi sumbangan bagi pemahaman kesejarahan bangsa yang sangat penting untuk menjadi sumbangan pemaknaan nilai bangsa ini,” ungkap DR  Agus Widiatmoko.

Serangkaian kegiatan yang dikemas dalam tajuk BWCF 2017 ini mengajak peserta untuk membaca kembali berbagai bentuk peninggalan sejarah seperti candi, prasasti dan sebagainya yang mengarah pada pemahaman kesejarahan  bangsa, di samping pembabaran tentang Gandawyuha, pertunjukan musik, tari, dan pembacaan puisi yang akan mewarnai pengayaan wacana para peserta yang berjumlah lebih dari 200 orang ini. (end)

 

Pewarta Endang Pergiwati (Pojokpitu.com)
Terbit Jum’at, 24-11-2017 19:50

Wujud Perdamaian, Pluralisme-Multikulturalisme di Candi Borobudur

Ilustrasi (Foto: Doc)

YOGYA, KRJOGJA.com – Mulai Kamis (23/11/2017) hingga Sabtu (25/11/2017), Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2017 digelar di Hotel Grand Inna Malioboro Yogyakarta dan kawasan Candi Borobudur Magelang Jawa Tengah. Mengangkat tema ‘Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara’ perhelatan BWCF keenam ini terdiri berbagai kegiatan seperti seminar, pentas kolaborasi, musik, pembacaan puisi, meditasi pagi, pemutaran film, pameran foto, pesta buku hingga pemberian penghargaan.

Tema sentral tahun ini berkaitan dengan keberagaman dalam berkeyakinan. Menurut kurator BWCF, Seno Joko Suyono, Gandawyuha adalah rangkaian relief Candi Borobudur sebanyak 460 panel di lorong dua, tiga dan empat. Dalam Gandawyuha, terdapat kisah Sudhana yang menjalani laku dalam menggapai pencerahan tertinggi ilmu ke-Buddha-an. Sudhana, berguru kepada banyak orang, baik dari kalangan pemuka agama maupun orang biasa.

“Gandawyuha ini mencerminkan pluralisme dan multikulturalisme. Gandawyuha sebenarnya merupakan inti Candi Borobudur, simbol pluralisme Nusantara pada Abad ke-8, namun belum ada simposium yang membahas Gandawyuha ini,” paparnya.

Ditambahkan, tema ini relevan dengan situasi terkini yang relatif mengagungkan fanatisme dan intoleransi. Peserta bakal diajak menafsirkan relief Gandawyuha bersama-sama.

Romo Mudji Sutrisno, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Driyarkara mengakui, belum ada diskusi khusus di Indonesia yang memperbincangkan perjalanan spiritual Sudhana itu. Di situ bisa dilihat bagaimana Sudhana mencari kebenaran di mana-mana dan plural. Inilah keunikan yang diangkat BWCF 2017, dengan menarik benang merah antara pluralisme pada dialog teologi agama Katolik, Buddha, Islam, dan Konghucu yang akan dibahas lebih dalam.

Diharapkan, kepercayaan seperti Parmalim, Kejawen, Sunda Wiwitan, Lamaholot, Marapu, Kaharingan serta kepercayaan lain turut memperkaya konteks keberagaman di Indonesia, seiring putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan penganut aliran kepercayaan masuk dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).(M-1)

 

Editor: Danar Widiyanto
Terbit Jumat, 24 November 2017 05:30 WIB