Nisan-nisan di Nusantara merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam arkeologi Islam di Indonesia, karena selain sebagai tanda tempat peristirahatan terakhir, nisan-nisan tersebut juga menyimpan simbol-simbol religius dan filosofis yang berkaitan dengan pemahaman ketuhanan dalam budaya Islam. Di banyak tempat di Nusantara, nisan-nisan menjadi simbol spiritual yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan serta pengaruh budaya lokal terhadap ajaran Islam.
Manuskrip-manuskrip Wali Nusantara yang ditulis oleh para wali dan tokoh penting Islam di Nusantara, juga amat menyentuh tema ketuhanan, kehidupan setelah mati, serta ajaran spiritual yang dianut oleh masyarakat setempat. Wali-wali seperti Sunan Gunung Jati, Sunan
Kali Jaga, Sunan Ampel, dan Sunan Giri tidak hanya berperan sebagai penyebar agama Islam, tetapi juga berperan dalam membentuk pemahaman masyarakat tentang Tuhan, hidup, dan mati melalui ajaran, ceramah, serta manuskrip yang mereka tulis.
BWCF ke 14 tahun 2025 ini berusaha menampilkan tema Estetika Nisan-Nisan Islam Nusantara dan Dunia Ketuhanan tentang Tarekat Syattariyah di Cirebon. Baru saja di Museum Nasional Jakarta, Kementerian Kebudayaan mengadakan pameran besar sejarah Islam Indonesia bertema: Misykat, Cahaya Peradaban Islam Nusantara. Di dalam pameran itu kita di antaranya bisa menyaksikan Al Quran tertua di Indonesia juga abklats (cetakan kopi) nisan-nisan kuno Aceh.
Museum Nasional memiliki lebih dari 2000 abklats nisan-nisan kuno Aceh yang simbol-simbol dan ornamen-ornamen serta epitafnya bermakna filosofis tinggi yang semuanya belum dikaji secara memadai. Meneruskan semangat ini, BWCF akan mengundang banyak ahli untuk membahas pemaknaan ketuhanan yang terdapat pada simbol-simbol dan aksara berbagai makam tua Nusantara dan juga suluk-suluk serta manuskrip-manuskrip komunitas tareqat-tareqat yang berkenaan dengan para wali, terutama Tarekat Syattariyah Cirebon.
Diharapkan para ahli ini dapat memberikan publik pemahaman mengenai pengaruh budaya lokal terhadap praktik pemakaman Islam di Nusantara, serta hubungan dengan ajaran-ajaran ketuhanan dalam manuskrip Wali Nusantara.
Festival kali ini merupakan tribut terhadap almarhum arkeolog UI yang di masa hidupnya sangat menekuni penelitian mengenai nisan-nisan nusantara yaitu Uke Tjandrasasmita. Buku almarhum: “Arkeologi Islam Nusantara” merupakan buku wajib bagi mereka yang melakukan studi terhadap jejak sejarah Islam Nusantara. BWCF 14 tahun ini sengaja dilaksanakan di Cirebon. Dipilihnya Cirebon sebagai tempat penyelenggaraan BWCF ke 14 adalah karena selain memiliki tinggalan arkeologis masa islam yang cukup signifikan, Cirebon juga memiliki sejarah panjang dalam syiar islam di Pulau Jawa. Cirebon memainkan peran vital dalam politik dan kekuasaan bergaya islam di abad ke-15 dan ke-16. Pengaruhnya begitu penting, sehingga menjadi akar kesultanan-kesultanan Islam di Pulau Jawa, salah satunya adalah Kesultanan Banten. Sebagai kota pusaka yang bersejarah, Cirebon memiliki warisan cagar budaya yang cukup berlimpah, mulai dari kompleks kraton (kasepuhan, kanoman, dan kacirebonan), masjid kuno, kompleks taman, dan tentu masih banyak lagi. Salah satu objek penting lainnya yang merekam perkembangan islam di Cirebon adalah makam-makam islam kunonya.
Makam-makam tersebut hingga kini masih menjadi destinasi yang cukup digemari sebagai wisata religi. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan kajian dan penelitian yang masih sangat terbatas. Padahal studi tentang makam berkaitan dengan studi intelektual islam di masa lalu, bagaimana kiprahnya, pengaruh, dan jejaringnya dengan tokoh-tokoh lain lintas regional maupun internasional.
Sebagaimana festival-festival BWCF sebelumnya selain acara utama simposium, pidato kebudayaan dan ceramah umum, maka peluncuran buku, bazar buku dan progam yang berkaitan dengan sastra juga tetap akan dilaksanakan pada seni pertunjukan. Diharapkan BWCF kali ini menjadi sebuah festival yang dari segi konten berbobot dan bisa menjadi referensi bagi para mahasiswa, peneliti, dosen, sastrawan, seniman dan sebagainya.


