The 6th Borobudur Writers and Cultural Festival 2017

Gandawyuha

460 buah panel Relief Gandawyuha yang dipahatkan pada dinding lorong dua dan tiga Borobudur jarang sekali didiskusikan secara serius. Padahal relief ini berbicara tentang hal yang sangat relevan di tengah kecenderungan fanatis dan intoleransi agama saat ini. Relief ini berbicara tentang kisah pencarian kebenaran tertinggi. Sesuatu yang ada dalam semua agama dan tradisi-tradisi besar dunia kerohanian mana pun.

Gandawyuha adalah kisah esoteris Agama Buddha Mahayana yang berasal dari India Selatan. Kisah ini diperkirakan muncul pada awal abad Masehi. Yang pertama kali menyadari di Borobudur relief pada galeri dua dan tiga merupakan kisah Gandawyuha adalah N. J. Krom pada tahun 1917. Kisah Gandawyuha  baru kita jumpai dalam  panel keenam belas dinding lorong kedua. Lima belas relief sebelumnya adalah pendahuluan yang  menggambarkan mukjizat – mukjizat yang dihasilkan oleh samadi Sang Buddha pada kesempatan berkumpulnya seratus murid di Taman Jeta di kota Srawasti.

Gandawyuha merupakan cerita pangeran muda bernama Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi. Sudhana melakukan perjalanan panjang menemui satu guru dan guru lain.  Sesuai perintah Boddhisatwa Manjusri, ia mengunjungi lima puluh tiga orang terkemuka,termasuk sekitar 30 orang guru. Namun demikian, tidak seorang pun dapat memberi kepuasan kepadanya.

Sebab mereka itu masing-masing membatasi diri  kepada pengetahuan yang khusus mereka kuasai. Pada awalnya pangeran Sudhana mengunjungi seorang rahib, biarawati, tabib, dewi-dewi dan beberapa orang suci. Dari kunjungannya yang pertama, kedua dan seterusnya diperoleh petuah – petuah, nasihat-nasihat dan wejangan-wejangan yang membuat ziarahnya makin menapak tinggi dan bertemu dengan guru yang  benar-benar dicari. Ia akhirnya  bertemu dengan Avalokitesvara. Dan mencapai  klimaknya  berjumpa Maitreya. Pada guru yang terakhir ini, pangeran Sudhana benar-benar mencapai kebenaran yang hakiki.

Di lorong keempat Borobudur, Relief Gandawyuha dilanjutkan dengan relief Bhadracari. Bhadracari merupakan kisah penutup Gandawyuha dengan menampilkan sumpah Sudhana untuk mengikuti Boddhisatwa Samanthabadra. Di dalam sumpahnya ia mengungkapkan keinginannya untuk mengikuti teladan agung Boddhisatwa menjadi pembimbing spiritual bagi orang yang beriman dalam perjalanannya mencapai kearifan tertinggi.

Borobudur Writer and Cultural Festival menganggap bahwa pencarian ketuhanan dalam kisah Gandawyuha ini sangat universal dan mencerminkan tingkat toleransi agama yang tinggi. Kisah Gandawyuha bahkan bisa membuktikan bahwa antara Borobudur dan Prambanan tidak terjadi kompetisi atau persaingan religi.

Dalam relief Gandawyuha misalnya menurut ahli Buddha, Hudaja Kandahjaya terdapat sosok Mahadewa dari ikon Hindu yang ditampilkan lengkap dengan atribut Siwa. Gambaran ini menurutnya sangat berbeda dibanding lukisan serupa yang dibuat di Cina atau Tibet yang cenderung mendominasikan sangat Buddha dan tidak mencerminkan konotasi Hindu.

Mahadewa di dalam Sutra Gandawyuha berkedudukan sebagai salah satu kalyanamitra, seperti halnya Avalokiteswara atau Maitreya, yang juga berlaku sebagai kalyanamitra di dalam sutra tersebut. Menurut Hudaja Kadahjaya, penelitian lebih lanjut terhadap Sutra Gandawyuha mengungkapkan bahwa sutra ini bukan hanya mengangkat derajat Mahadewa, melainkan juga anggota masyarakat makhluk lain yang berasal dari berbagai kalangan ikut menjadi kalyanamitra.

Menurutnya kalau dihitung dengan cermat, komponen kelompok kalyanamitra yang berasal dari lingkungan agama Buddha bahkan hanya menyumbang 25 persen dari keseluruhan kalyanamitra yang disebut di Sutra Gandawyuha. Hampir 25 persen lainnya adalah makhluk halus, termasuk Mahadewa yang disebut barusan. Lalu, 50 persen sisanya berasal dari kalangan lain, termasuk kaum Brahmana, cendekiawan, profesional, politikus, dan perumahtangga. Kaum perumahtangga, termasuk bocah lelaki maupun perempuan, hampir mencapai 25 persen dari total kalyanamitra.

Dilihat dari komposisi kalyanamitra itu maka Hudaja Kandahjaja berpendapat  Sutra Gandawyuha seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ajaran agama Buddha, yang berupaya mencapai pencerahan sempurna, sesungguhnya bisa diperoleh dari banyak sumber, tidak mesti berasal dari kalangan agama Buda per se. Pendapat ini penting karena ini memperlihatkan bahwa pembangunan berturutan dua candi termegah di Indonesia Borobudur dan Prambanan sama sekali bukan karena persaingan atau politik agama, melainkan  karena prinsip ajaran kebenaran itu tunggal.

Atas dasar itulah Borobudur Writer and Cultural Festival ingin mendiskusikan Gandawyuha secara lintas disiplin. Mengundang para biku, arkeolog, ahli agama Buddha, peneliti sutra dan lain sebagainya.  Di samping itu juga ingin mengundang kalangan agamawan lain untuk mendiskusikan pencarian Ketuhanan di agamanya masing-masing. Juga para peneliti dan penghayat kebatinan, olah jiwa, tradisi-tradisi silat  di nusantara dan pelaku agama-agama lokal Nusantara.   Bertolak dari relief Borobudur:  Gandawyuha, Borobudur Writer and Cultural Festival tahun 2017 ingin merayakan kemajemukan religi di Indonesia.

Program

  • Seminar

    Suatu seminar oleh penulis dan para pakar mengenai Gandawyuha dan Pencarian Ketuhanan Agama-agama Nusantara.

  • Pelepasan Buku

    Suatu acara pelepasan buku yang terkait dengan topik Borobudur dan keberagaman tentang agama di Nusantara.

  • Gelar Seni: Pameran & Pertunjukan

    Suatu acara pameran foto dan pementasan seni petunjukan, sastra, tari, teater dan musik yang mengangkat tema “Keberagaman di Nusantara”.

  • Penghargaan Sanghyang Kamahayanikan Award

    Seleksi dan pemberian penghargaan kepada penulis, tokoh ilmu pengetahuan dan budaya yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman terhadap khazanah kebudayaan, khususnya khazanah asal muasal manusia Nusantara.

Tim Borobudur Writers and Cultural Festival 2017

Tim Kerja dan Kuratorial

  1. Romo Mudji Sutrisno, SJ, seorang rohaniwan dan guru besar fi lsafat di STF Driyarkara dan staf pengajar di Universitas Indonesia. Aktif dalam berbagai kegiatan budaya dan keagamaan dan menerbitkan berbagai buku kajian kebudayaan, filsafat dan keagamaan.
  2. Seno Joko Suyono, adalah redaktur kebudayaan Majalah Tempo. Menempuh pendidikan di bidang filsafat, menulis novel dan buku-buku kebudayaan. Beberapa artikelnya termuat dalam kumpulan buku, seperti Tafsir dalam Permainan (diterbitkan Utan Kayu). Pernah mendapat beasiswa selama musim panas menikmati pertunjukan-pertunjukan teater di New York.
  3. Imam Muhtarom, lulusan pasca-sarjana di FIB, Universitas Indonesia. Ia menulis dan editor mengenai sastra dan budaya, juga pengajar/peneliti budaya di Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. Bukunya (2013, kumpulan esai sastra) dan Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan (2007, kumpulan cerpen).
  4. Budhy Munawar-Rachman adalah penulis dan pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS). Mendapat pendidikan dalam bidang filsafat pada STF Driyarkara. Mendirikan dan menjadi Direktur Project on Pluralism and Religious Tolerance, Center for Spirituality and Leadership (CSL). Menulis karangan dalam lebih dari 50 buku di antaranya, Islam Pluralis, Fiqih Lintas Agama (co-author), dan Membela Kebebasan Beragama (2016, editor). Kini bekerja sebagai Program Officer Islam and Development, The Asia Foundation.
  5. Sudiarto, ketua Sudimuja, sebuah lembaga yang mendedikasikan diri mengungkap Muarajambi sebagai pusat kebudayaan Budha. Lembaga ini dapat diakses di www.sudimuja.com
  6. Yessy Apriati, bekerja sebagai manajer seni independen. Mengelola Gumarang Sakti Dance Company bersama koreografer Boi G sakti (2001-2009) dan telah pentas di pelbagai pentas di Negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Menjadi manajer festival Indonesia Dance Festival 2004 sampai sekarang.

Panitia Pendukung:

  1. Dorothea Rosa Herliany, penulis yang sudah menerbitkan 30 buku (puisi, prosa, biografi). Ia juga telah menerima berbagai penghargaan, di antaranya dari Dewan Kesenian Jakarta (2000), Pusat Bahasa Jakarta (2003), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004), Khatulistiwa Literary Award (2006), Cempaka Award (2011), Prasidatama (2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2016), juga grant award dari Asialink dan La Trobe University (2000), Monash University (2002), Heinrich Böll Stiftung (2009), DAAD / Deutscher Akademischer Austausch Dienst (2013) dan Stichting Poets of All Nations (2014).
  2. Wicaksono Adi, penulis esai seni-budaya, menempuh pendidikan di bidang seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Memiliki pengalaman sebagai jurnalis, mengkuratori beberapa pameran seni rupa, dan menjadi editor buku-buku seni-budaya.
  3. G. Budi Subanar, Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Doktornya diperoleh dari Universitas Gregoriana Roma, Italia. Bukunya, antara lain Kilasan Kisah Soegijapranata (2012) dan novel berjudul Hilangnya Halaman Rumahku (2013).
  4. Yudhi Widdyantoro, praktisi yoga dan terlibat dalam banyak program keberagaman di Indonesia.
  5. Yoke Darmawan, seorang profesional di bidang konsultasi managemen dan proyek pembangunan sumber daya manusia dengan pengalaman lebih dari satu dekade dalam bidang pembinaan dan program pelatihan presentasi kepemimpinan dan tim manajemen di beberapa negara Asia Tenggara. Kini ia dosen di Universitas Stenden untuk siswa overseas Eropa.
  6. Hartono Aris Munandar, seorang penekun budaya Jawa. Ia sering terlibat dalam program kegiatan kebudayaan di Yogyakarta dan sekitarnya.