Salah satu tujuan utama diselenggarakan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) adalah forum ini menjadi sebuah perhelatan untuk mengkaji ulang pemikiran-pemikiran penting para cendikia yang telah melakukan kajian serius dan ilmiah terhadap sejarah dan budaya nusantara kuno. Diharapkan dengan adanya forum ini, pemikiran-pemikiran tua yang tadinya terlupakan dapat terangkat kembali dan dikenali oleh khalayak luas termasuk generasi milineal.
Dalam sepuluh tahun perjalanannya, telah banyak BWCF berusaha mengangkat kembali disertasi atau buku monumental seorang ilmuawan berkaitan dengan tema nusantara kuno untuk didiskusikan kembali secara luas dan dicari relevansinya untuk eksplorasi gagasan-gagasan dalam kesenian dan kebudayaan kontemporer Indonesia. Di antaranya pernah BWCF mengangkat tema: Ratu Adil yang dibahas dalam disertasi sejarawan Peter Carey mengenai Diponegoro. BWCF mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi sampai filologi membahas tema ini. Dalam simposium BWCF tersebut terungkap visi-visi mesianistik dan harapan akan datangnya zaman makmur ternyata tidak hanya terdapat di Jawa tapi juga di Sulawesi sampai Papua. Bahkan hampir di setiap pelosok nusantara.
Pernah juga BWCF mengangkat disertasi Romo Zoetmulder yang sangat indah membahas perspektif Ketuhanan dalam masa Jawa Kuno dan sudah diterbitkan oleh Gramedia tapi jarang diketahui publik, yaitu: Manunggaling Kawula Gusti. Terakhir tahun lalu (2021) BWCF mengangkat pemikiran Claire Holt, peneliti Amerika yang di tahun 60 an menulis sebuah buku sangat penting tentang sejarah seni di nusantara berjudul : Art in Indonesia: Continuities and Change.
Tahun ini BWCF akan mengangkat pemikiran almarhum Prof Dr Hariani Santiko. Hariani Santiko adalah arkeolog penting di Indonesia namun mungkin namanya tidak begitu dikenal luas terkecuali di kalangan arkeolog. Hariani Santiko lahir di Pacitan tahun 1940 dan baru saja wafat tahun lalu 2021. Hariani Santiko mengabdi di jurusan arkeologi UI dan mengajar arkeologi klasik Hindu-Buddha. Kajian-kajian arkeologi yang dilakukan oleh Hariani Santiko di UI sangat dalam, karena beliau menguasai bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.
Disertasi Hariani Santiko yang dipertahankan tahun 1987 : Kedudukan Batari Durga Di Jawa Pada Abad X-XV Masehi adalah disertasi yang sangat langka dan ditulis dengan standart ilmiah yang tinggi. Kultus terhadap Durga menurut Hariani Santiko merupakan bagian dari kultus dewi ibu pada masyarakat agraris. Durga adalah aspek krodha (dahsyat atau menakutkan) atau sakti (kekuatan/tenaga) dari Siwa. Durga bertugas melindungi manusia dari kesulitan yang ditimbulkan oleh serangan musuh atau orang jahat. Durga sendiri berarti benteng atau ia yang memusnahkan kesulitan-kesulitan atau halangan.
Disertasi ini penting karena menyajikan data dan analisa mengenai salah satu heritage arkeologi kita yang terpenting tapi dilupakan dan jarang dibahas : arca-arca Durga. Disertasi ini sangat bermanfaat karena darinya kita bisa memahami salah satu unsur keagamaan terkuat yang pernah berkembang di Jawa kuno. Disertasi ini sifatnya internasional karena darinya kita bisa memperbandingkan Durga sebagai salah satu pantheon kuat yang pernah dipuja atau dimuliakan dalam Jawa kuno dengan Durga di India kuno atau bahkan India sekarang atau Bali sekarang.
Adalah fakta peninggalan arca Durga Mahisasuramardini (Durga pembunuh asura yang berwujud kerbau) sangat banyak jumlahnya di Jawa. Yang tertua diperkirakan berasal dari sekitar abad VIII masehi sementara yang termuda dari masa zaman Majapahit sekitar XV Masehi. Selama 700 tahun ini di Jawa berkembang pemikiran mengenai Durga. Selama kurang lebih 700 tahun itu segala produk-produk keagamaan yang berkaitan dengan Durga mulai arca, relief, prasasti sampai kakawin-kakawin (puisi) diproduksi di Jawa. Tak bisa dipungkiri secara estetis arca-arca Durga Mahisasuramardini yang ada di Jawa ini memiliki tingkat artistik yang luar biasa yang agak berbeda dengan arca-arca Durga di India yang juga banyak dan elok-elok.
Betapapun ritual Durga sudah lenyap dan tidak dilaksanakan lagi di Jawa, kalangan antropolog menenggarai bahwa sisa-sisanya sebetulnya tanpa disadari masih meresap dalam ritual-ritual tradisi Jawa di pedesaan. Ritual Durga tidak begitu saja hilang memorinya dari Jawa, karena telah begitu lama- kurang lebih 700 tahun tertanam dalam akar budaya Jawa. Upacara sembelih kerbau dan slametan sembelih kerbau yang masih banyak dilakukan di pedesaan-pedesaan Jawa menurut antropolog Stephen C. Headley dalam bukunya yang sangat tebal dan akademis: Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion and Community in Central Javanese Islam adalah sisa-sisa pemikiran dan ritual Durga Mahisasuramardini, kemenangan Durga atas asura yang menjelma dalam bentuk kerbau.
Demikian juga upacara tahunan, gelar sejaji Keraton Surakarta bernama Sesaji Mahesa Lawung. Gelar sesaji itu menurut Stephen C. Headley pada dasarnya adalah sisa-sisa dari kultus Durga di Jawa. Pada sesaji Mahesa Lawung itu sejumlah kerabat istana dan ratusan abdi dalem akan menuju Hutan Krendowahono, kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Pada tiap upacara di Hutan Krendowahono akan ditanam kepala kerbau hitam.
BWCF tahun ini ingin membaca ulang kembali pemikiran Hariani Santiko mengenai Durga. BWCF akan menggelar sebuah simposium khusus bertema Durga dan juga seni pertunjukan kontemporer yang berkaitan dengan Durga sebagi materi utama BWCF 2022. BWCF akan mengundang para pakar-pakar Durga. Selain Hariani Santiko, beberapa tahun terakhir ini muncul pakar-pakar Durga. Misalnya Ni Wayan Pasek Ariati Phd, yang merampungkan studi doktoralnya di Charles Darwin University, Australia dengan disertasi mengenai Durga dan dibukukan dengan judul: Journey of the Goddes Durga: India, Java and Bali.
Betapapun demikian secara keseluruhan acara-acara BWCF – sebagaimana tahun-tahun sebelumnya juga akan menampilkan berbagai lecture, bedah buku, bedah relief , acara meditasi, diskusi menegenai isyu terbaru arkeologi sampai temu pengarang dan penerbit yang tidak berkaitan dengan tema utama. BWCF tetap akan menampilkan progam-progam yang berkaitan dengan aktualitas pemikiran-pemikiran kenusantaraan secara akademik.
Dalam simposium Durga sendiri , disertasi atau poin-poin utama analisa Hariani Santiko akan menjadi titik tolak perumusan diskusi. Seluruh seluk beluk Durga mulai dari ikonografi ,prasasti, sastra, konsep teologis sampai bagaimana tema Durga diolah dalam sastra modern dan seni pertunjukan kontemporer Indonesia direncanakan akan dibahas dalam simposium yang dihadiri para ahli lintas disiplin. Para pakar yang diundang diharap akan mampu dan membandingkannya dengan Durga di Bali dan juga di India.
BWCF beranggapan merayakan disertasi Hariani Santiko setahun sesudah wafatnya adalah hal penting, agar kita semua tidak cepat lupa dengan kerja-kerja besar intelektual kita sendiri berkaitan dengan heritage nusantara.