Latar Belakang
Buku Claire Holt : Art in Indonesia : Continuities and Change yang terbit tahun 1967 bisa disebut salah satu magnum opus untuk memahami sejarah estetika di Nusantara. Buku ini secara menarik berbicara tentang kontinuitas estetika Nusantara dari akar-akarnya di zaman prasejarah sampai munculnya seni modern di Indonesia. Buku itu demikian berpengaruh sehingga sanggup membuka minat peneliti mancanegara memperhatikan seni modern Indonesia. Sebelum menulis buku ini, Claire Holt telah menulis buku tentang tari di Indonesia antara lain: Dance Quest in Celebes (1939), dan manuskrip serta banyak artikel lain seputar tari.
Buku Art in Indonesia : Continuities and Change sendiri pada tahun 2000 telah dialih bahasakan oleh Prof. Dr. RM. Soedarsono dan diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dengan judul: Melacak Jejak-Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Dalam kata pengantarnya, Prof.Dr.RM. Soedarsono mengatakan: “…istilah art diperlebar oleh Claire Holt , bukan saja mengenai seni lukis tetapi juga mencakup seni pertunjukan. Dengan demikian Claire Holt telah mendahului dalam penggunaan istilah art yang dalam bahasa Indonesia kita terjemahkan dengan Seni yang sangat sesuai dengan penggunaan kita sekarang, dan tidak begitu saja mengartikan Art dalam artian konvensional barat yang selalu berarti: seni rupa….”
Betapapun buku ini demikian penting – untuk memahami sejarah seni kita seperti dinyatakan Prof. Dr. RM. Soedarsono namun gagasan-gagasannya dan alur pikirannya kini tak banyak didiskusikan. Malah mungkin cenderung dilupakan. Padahal pandangan Claire Holt yang menarik garis sejarah estetika dari zaman megalitik sampai modern masih sangat relevan untuk dipakai mengkaji sejarah estetika kita. Oleh karena itu dalam merayakan ulang tahunnya yang ke 10, Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) memilih mengangkat buku ini sebagai topik utama untuk didiskusikan gagasan-gagasannya dan dicari sumbangannya untuk perkembangan seni Indonesia masa sekarang.
Di usianya yang ke 10, BWCF telah menyajikan berbagai tema mengenai kenusantaraan yang dibahas tiap perhelatan BWCF diadakan. Pada tahun pertama BWCF (2012) mengangkat tema: Cerita Silat dan Sejarah Nusantara. Menyusul tahun-tahun berikutnya berturut-turut: Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara antara Kolonial dan Post Kolonial (2013), Ratu Adil: Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara (2014), Gunung, Bencana dan Mitologi di Nusantara (2015), Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara (2016), Gandawyuha: Pencarian Religiusitas Agama-Agama Nusantara (2017), Traveling & Diary: Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara (2018), Mengenang Zoetmulder: Tuhan &Alam, Membaca Panteisme, Tantrayana dalam Kakawin & Manuskrip Manuskrip Kuno Nusantara (2019), Bhumisodhana: Ekologi dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara (2020). Dan tahun ini 2021 adalah: Membaca Ulang Claire Holt: Estetika Nusantara, Kontinuitas dan Perubahannya.
Claire Holt adalah perempuan jurnalis keturunan Latvia yang menjadi warga negara Amerika. Seperti pernah ditulis oleh sejarawan seni Aminudin TH Siregar, Claire Holt lahir dengan nama asli Claire Bagg pada 1901 di Riga, Latvia. Ia lahir dari keluarga menengah atas Yahudi. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara. Setelah menikah dengan guru baletnya, mereka berdua pindah ke New York. Di kota “Big Apple” itu, Claire mengikuti perkuliahan di Brooklyn Law School, Cooper Union New York, dan kursus mematung di studio Alexander Archipenko – pematung kontemporer Amerika kelahiran Ukrania. Pada Mei 1929, suami Claire Holt tewas karena kecelakaan. Claire lalu bersama anaknya kembali ke Riga, Latvia.
Angelica Archipenko, seniman dan juga istri Alexander Archipenko, – suatu kali menjenguk Claire Holt di Latvia. Ia kemudian mengajak Claire berkeliling dunia. Kebetulan Angelica mengenal pelukis Walter Spies yang bermukim di Bali. Pada 1930 akhirnya, mereka menuju Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda) dan mendarat di Bali. Claire segera menjadi bagian dari lingkaran pergaulan Walter Spies. Dia bertemu WF Stutterheim yang mengajarinya seni tari Jawa dan candi-candi dan kebudayaan bendawi kuno Nusantara.
Stutterheim, Mangkunegara VII dan guru tari klasik Jawa Pangeran Ario Tedjokusumo-putra Sultan Hamengkubuwono VII – boleh disebut mentor-mentor Claire Holt untuk memahami budaya Jawa. Dia juga menjadi murid tari – Krido Bekso Wiromo-sekolah tari ang didirikan oleh Pangeran Tedjokusumo in 1918.
Claire menulis laporan berkala untuk Office of Strategic Services (belakangan menjadi Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat/CIA). Tak lama, Claire bergabung dengan George McT. Kahin di Universitas Cornell di Ithaca dan ikut mendirikan “Proyek Modern Indonesia”. Antara tahun 1930 sampai 1939, Claire sering tinggal di Jawa. Ia kembali untuk meneliti atas dukungan dana Rockefeller Foundation di tahun 1955-57. Terakhir ia mampir ke Indonesia pada tahun 1969. Tapi saat itu kondisinya sudah sakit-sakitan. Walaupun demikian ia tetap memaksakan mengunjungi sejumlah situs candi dan pura di Jawa dan Bali. Setelah kembali ke Ithaca pada April, Claire mengalami kelelahan luar biasa. Kesehatannya merosot. Ia wafat pada 29 Mei 1970.
BWCF akan membuat simposium berdasar tema dasar dan cara pandang yang ada dalam buku Claire Holt: Art in Indonesia : Continuities and Change. Yaitu melacak tentang kesinambungan dan ketidaksinambungan, kontinuitas dan rupture perjalanan seni Indonesia dari masa pra sejarah, masa-masa klasik sampai seni rupa modern dan kontemporer.
Lima puluh satu tahun setelah kematian Claire Holt dunia seni dan studi-studi arkeologi Indonesia telah berkembang. Pada waktu menulis bukunya contoh-contoh seni pra sejarah Indonesia yang dikemukakan Holt adalah gambar-gambar pada batu dan gua-gua di Papua, Kepulauan Kei, Seram,Sulawesi, Kalimantan. Dalam buku itu dia masih menyebut umur gambar-gambar itu lebih muda dari gambar-gambar pada batu dan gua pra sejarah di Eropa antara lain di Font de Gaume, Dordogne dan Altamira. Sekarang data-data baru arkeologis memberikan fakta bahwa gambar-gambar di gua-gua di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.
Artinya gambar di Goa Leang Bulu Sipong 4 tersebut merupakan gambar tertua di dunia. Penemuan ini sebetulnya bisa mengubah catatan sejarah seni dunia. Untuk itu simposium maka kami akan mengundang banyak ahli pra sejarah, ahli tari dan ahli seni rupa untuk membicarakan hal-hal baru ini. Simposium juga akan membicarakan tema-tema seperti asimilasi budaya atau osmosis budaya dalam dunia seni pertunjukan nusantara – yang menurut Claire Holt merupakan salah satu kekuatan seni pertunjukan Indonesia- yang bisa menyerap berbagai pengaruh unsur-unsur menjadi kekuatan sendiri.
Sebagaimana acara BWCF tiap tahun akan tetapi tidak terbatas kepada simposium. Rangkaian perayaan 10 tahun BWCF ini akan meliputi: Pidato Kebudayaan, Launching Buku yang berkenaan dengan tema utama, Prosesi penghargaan tahunan BWCF Sang Hyang Kamahayanikan Award terhadap seorang tokoh yang dianggap berjasa dan memiliki pengabdian dalam bidang yang sesuai tema yang dirayakan, rangkaian lectures, workshop, temu penerbit, rangkaian acara yoga dan meditasi, bedah relief serta rangkaian seni pertunjukan dan pembacaan puisi.
Khusus untuk lecture sesuai dengan keinginan Mentri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang ingin menjadikan Borobudur sebagai pusat ziarah umat Buddha seluruh dunia, kami akan menampilkan serangkaian lecture Borobudur dari ahli-ahli Borobudur dari berbagai perspektif. Rangkaian lecture tentang Borobudur ini kami beri tema: Borobudur dalam Peta Ziarah Buddhis Dunia.