Tentang Borobudur Writers & Cultural Festival
Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) adalah sebuah festival tahunan yang mulai diselenggarakan pada tahun 2012. Sejak tahun 2017, BWCF diselenggarakan oleh BWCF Societ dengan pendiri dan Steering Committee meliputi Romo Mudji Sutrisno, Seno Joko Suyono dan Imam Muhtarom.
BWCF adalah wahana pertemuan bagi para penulis baik fiksi maupun non fiksi, para pekerja kreatif, aktivis budaya dan keagamaan lintas iman. Pada tiap tahunnya, BWCF berusaha menyajikan tema utama terpilih yang dianggap mampu merangsang para hadirin untuk menyadari kembali keunikan dan kekayaan berbagai pemikiran sastra, kesenian dan religi nusantara.
Perhatian utama BWCF memang adalah menggali dan memaknakan kembali berbagai khazanah literasi dan kebudayaan nusantara untuk menemukan relevansi aktualnya bagi masa kini dan masa depan Indonesia. BWCF menganggap masih banyak hal penting dalam sejarah dan kebudayaan nusantara yang belum digali dan didiskusikan.
BWCF yang pertama diselenggarakan pada tahun 2012 dengan tema “Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara”. Kemudian BWCF pada tahun 2013 mengangkat tema “Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara”. BWCF ketiga pada tahun 2014 mengangkat tema “Ratu Adil: Kuasa & Pemberontakan di Nusantara”, BWCF keempat tahun 2015 mengangkat tema “Gunung dan Mitologi di Nusantara”. BWCF kelima tahun 2016 dengan tema “Merayakan 200 Tahun Serat Centhini,” serta BWCF keenam tahun 2017 bertemakan “Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama di Nusantara”.
Penyelenggaran BWCF selalu dihadiri oleh berbagai hadirin lintas disiplin. Dari novelis, penyair, filolog, antropolog, arkeolog, sejarawan, mahasiswa, wartawan, sampai masyarakat umum. Berbagai acara digelar antara lain: seminar, pemutaran film, peluncuran buku, pementasan seni, lecture tentang sejarah Nusantara, serta workshop. Salah satu yang khas dari penyelenggaraan BWCF adalah di tiap penghujung festival akan diberikan penghargaan bagi para penulis, sejarawan, budayawan yang dianggap berdedikasi melakukan penelitian, kajian atau aktivitas yang menarik untuk menghidupkan tema penting tertentu dalam sejarah nusantara. Nama penghargaan itu adalah Sang Hyang Kamahayanikan Award.
Sang Hyang Kamahayanikan Award tahun 2012 diberikan kepada almarhum SH Mintardja, seorang pelopor genre sastra silat. Tahun 2013 diberikan kepada almarhum sejarawan bahari AB Lapian atas penelitiannya yang dalam atas dunia kemaritiman Indonesia. Tahun 2014 diberikan kepada sejarawan Peter Carey yang menulis riwayat Pangeran Diponegoro dan sejarah perang Jawa. Pada tahun 2015 diberikan kepada Hadi Sidomulyo (Nigel Bullough), seorang pecinta sejarah yang menapak-tilasi lagi nama-nama desa yang ada di kitab Negara Kertagama. Kemudian, 2016, penghargaan diberikan kepada Halilintar Latief atas jasanya memberdayakan komunitas bissu di Sulawesi Selatan dan almarhum Kartono Kamajaya atas jasanya menerjemahan dan menuliskan Serat Centhini ke dalam huruf latin. Pada tahun 2017 lalu penghargaan diberikan kepada Prof. Dr. Noerhadi Magetsari atas jasanya melakukan penelitian, menulis buku tentang kajian Borobudur yang berangkat dari kajian sutra, kajian paling komprehensif yang pernah muncul dari kalangan akademis Indonesia.
Sebagai sebuah festival, disamping seminar, setiap perhelatan BWCF juga ditandai dengan diadakannya berbagai pementasan seni pertunjukan dan pentas forum penyair yang berkaitan dengan tema utama BWCF. Lokasi pertunjukan adalah kawasan-kawasan sekitar Borobudur. Malam seni pertunjukan BWCF misalnya pernah berlangsung di desa-desa yang berada di gunung-gunung di sekitar Borobudur. Di antaranya, Desa Gejayan Gunung Merbabu, Desa Tutup Ngisor Gunung Merapi, dan Desa Krandegan Gunung Sumbing. Juga pernah di Seminari Mertoyudan. Dari tahun ke tahun lokasi pementasan selalu berpindah-pindah. Pada tahun 2017 seni pertunjukan dilaksankan di lapangan Akhsobya Candi Borobudur dengan set instalasi seni rupa.