Membaca Ulang Hubungan Muarajambi-Nalanda & Arca-arca Sumatera

Mengenang Satyawati Suleiman (1920-1988)

Beberapa tahun terakhir muncul penemuan-penemuan baru arkeologi di Sumatera. Tahun 2018 misalnya ditemukan prasasti Baturaja. Mulanya prasasti ini susah dibaca. Dan baru tahun 2024  ini arkeolog bisa memecahkan kalimat-kalimat yang ada dalam prasasti tersebut. Prasasti ini penting bagi penelitian mengenai sejarah Sriwijaya dan percandian Sumatera karena prasasti itu menjawab teka-teki di mana lokasi persis Minanga (awal Kerajaan Sriwijaya) yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) yang selama ini dicari lokasinya oleh para arkeolog. Juga tahun-tahun ini  arkeolog melakukan eksvakasi terhadap situs Bongal, Tapanuli tengah  yang diindikasikan  bekas pelabuhan kuno dari abad 7 M-10 M yang lebih tua dari Barus. Banyak temuan-temuan di antaranya  koin-koin dari Abasiyah dan manik-manik kaca berlapis emak dan perak Romawi menunjukkan bahwa situs Pelabuhan Bongal dulunya Pelabuhan internasional yang kosmopolit. Semua temuan baru ini menambah pemahaman kita mengenai khazanah arkeologi Sumatera dan Sriwijaya.

Setelah dua tahun berturut-turut BWCF dalam festival mengangkat soal arkeologi Jawa dan Bali yaitu tema arca Durga dan arca Ganesha, maka tahun ini secara spesial BWCF ingin mengangkat khazanah percandian, arca-arca, prasasti, keramik-keramik dan pelabuhan-pelabuhan kuno di Sumatera. Pilihan topik Sumatera ini dikarenakan  BWCF juga  ingin menyambut kebijakan pemerintah melakukan revitalisasi terhadap Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi. Seperti kita ketahui, selama tiga tahun terakhir para arkeolog melakukan pemugaran terhadap beberapa candi di Muarajambi. Sebuah museum baru juga akan didirikan di Muarajambi. BWCF ingin membaca ulang secara utuh situs Muarajambi dan juga arkeologi Sumatra. BWCF ingin membantu pemerintah meningkatkan daya tarik Muarajambi sebagai  wisata heritage dan wisata pemikiran Buddhisme internasional yang  mendorong perekonomian daerah.

Perhelatan BWCF 2024 seluruhnya akan diadakan di sekitar situs Muarajambi. Progam-progam BWCF 2024 akan terdiri dari Pidato Kebudayaan; Simposium; Ceramah Umum (lectures); Pertunjukan Seni dan Sastra, dan Pemutaran Film yang berkaitan dengan Sumatera. BWCF akan mengundang pakar-pakar arkeologi Sriwijaya baik dari Indonesia maupun mancanegara. BWCF juga menghadirkan seniman-seniman dan sastrawan terkemuka yang berasal dari Sumatera dan Asia Tenggara. Tak lupa, BWCF akan menyelenggarakan progam meditasi untuk publik di percandian Muarajambi yang dibimbing meditator-meditator terkenal sebagaimana BWCF lakukan di candi Borobudur.  Pendeknya, BWCF tahun 2024 ini akan  merayakan Sumatra dari arkeologi sampai sastra.

Dengan terselenggaranya festival dan simposium internasional di Muarajambi, BWCF bermaksud turut mempromosikan Muarajambi sebagai salah satu situs warisan dunia yang penting.  Pemerintah Indonesia ingin agar pada tahun 2025 kawasan Muarajambi diakui oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia. Mengadakan pertemuan internasional membahas Muarajambi dan arkeologi Sumatera adalah salah satu strategi untuk membesarkan nama Muarajambi di dunia akademik. Di masa lampau, Muarajambi adalah pusat pendidikan Buddhis tertua dan terluas di Asia Tenggara. Muorajambi bisa disebut adalah universitas penunjang Universitas Nalanda di Bihar, India. Pada masa itu, terjadi banyak pertukaran pelajar dan guru besar antara Nalanda dan Muarajambi. Siswa-siswa Budhis dari Sumatra belajar dari Nalanda. Sebaliknya, guru besar Nalanda seperti Atisha dan Satyakirti juga datang belajar dan mengajar di Muarajambi. Mengedepankan dan mengokohkan kedudukan Muarajambi sebagai pusat kebudayaan Sriwijaya atau Melayu adalah sesuatu yang penting dan mendesak. Sebab sekarang ini para arkeolog Malaysia pun mulai mempromosikan kawasan situs Lembah Bujang di Kedah, Malaysia adalah kawasan bekas situs utama Pelabuhan Sriwijaya bukan Muarajambi atau Palembang. Di Lembah Bujang atau Kedah kuno-lah dulu menurut mereka, penguasa Sriwijaya berkedudukan.

Perhelatan BWCF 2024 kali ini juga diinginkan sebagai tribut untuk mengenang kajian-kajian mengenai arkeologi Sumatera yang dilakukan Ibu Satyawati Suleiman(1920-1988) almarhum. Ia adalah arkeolog perempuan pertama Indonesia yang melakukan pernelitian terhadap artefak-artefak percandian Sumatera. Ia bisa disebut arkeolog Indonesia pelopor untuk melakukan studi di Sumatra. juga pernah menjadi atase kebudayaan di India. Selama dua tahun berturut-turut BWCF melakukan tribut  terhap para arkeolog perempuan yang berjasa. Saat mengangkat tema Durga di tahun 2022, BWCF melakukan tribut terhadap alm Dr. Hariani Santiko yang disertasinya mengenai Durga dan saat tahun 2023 mengangkat tema Ganesa, BWCF melakukan tribut terhadap alm Prof. Dr. Edi Sedyawati yang disertasinya tentang Ganesa. Tribut terhadap Satyawati Sulaiman ini maka dari itu adalah  rangkaian seri festival BWCF yang didedikasikan untuk mengenang jasa-jasa para perempuan arkeolog Indonesia yang menyumbang kontribusi besar terhadap pemahaman masa silam Nusantara pada zaman Hindu-Buddha.