The 7th Borobudur Writers and Cultural Festival 2018
Diary & Traveling
Setelah 1300 Tahun Buku Harian I-Tsing
(Membaca Ulang Kitab Kitab Pelawat Asing Tentang Nusantara)
Nusantara adalah kepulauan yang sejak berabad-abad lalu menjadi lintasan perjalanan para pelawat dunia. Berbagai macam catatan harian, kronik-kronik, buku laporan pengamatan ditulis dari hasil perjalanan para “petualang” dan “pelancong” Cina, India, Arab, Persia, Portugis, Spanyol, Perancis sampai Belanda tatkala mengunjungi nusantara.
Mereka yang menulis berasal dari kalangan agamawan, saudagar-saudagar, pelaut, staf administrasi kolonial, geografer, naturalis, kalangan militer sampai ilmuwan botani. Mereka mencatat hal ihwal nusantara dari minat, kepentingan dan sensibilitas masing-masing. Mulai dari catatan sosial kemasyarakatan, pengamatan atas perkotaan, tentang ritual-ritual dan pusaka-pusaka, tentang kuliner, tentang tempat-tempat wisata yang memiliki keindahan panoramik, tentang tata niaga sampai masalah flora dan fauna.
Hampir tidak pernah diselenggarakan sebuah simposium yang mempertemukan kalangan para penulis sejarah dengan kalangan insan perhotelan dan pariwisata yang membahas secara khusus catatan harian atau buku-buku yang ditulis oleh para pelawat asing di nusantara. Padahal, dari sudut sejarah, catatan harian atau kronik-kronik ini merupakan sebuah data primer untuk memahami keunikan Indonesia. Dari sebuah catatan harian—yang kadang sangat intim, penuh impresi—kita bisa mendapat “sisi lain” dan “cara pandang yang tak terduga” tatkala menyaksikan keberagaman nusantara.
Tulisan-tulisan mereka ada kalanya ditulis sangat personal. Ada kalanya ditulis dengan “sudut mata eksotis” hingga mampu menangkap hal-hal kecil yang tak terlihat. Mereka mencatat dengan teliti segala hal mengenai perbedaan-perbedaan yang tidak ada di negerinya sendiri. Ada kalanya catatan perjalanan itu ditulis dengan ketenangan seorang yang ingin melaporkan penglihatannya secara ilmiah. Ada kalanya ditulis dengan tingkat kekritisan yang tinggi.
Banyak catatan harian para pelawat asing yang ditulis di nusantara misalnya kemudian menjadi buku standart keilmuan dunia. Seperti katakanlah buku Alfred Russel Walace, The Malay Archipelago, yang diterbitkan tahun 1869 merupakan sebuah karya sains populer yang menjadi rujukan para peneliti dan wisatawan manapun sampai kini. Karya ini merupakan catatan perjalanan dan pengamatan Wallace selama menjelajah Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Alfred Russel Wallace adalah seorang naturalis, geografer, ahli antropologi dan ahli botani dari Britania Raya. Ia adalah ilmuwan yang mencetuskan Garis Wallace. Garis yang membagi kepulauan Indonesia menjadi dua bagian yang berbeda: Bagian barat di mana sebagian besar faunanya berasal dari Asia dan bagian timur dimana faunanya berasal dari Australasia. Banyak yang tak mengetahui penelitian-penelitian Wallace di nusantara sesungguhnya sangat mempengaruhi Charles Darwin untuk merumuskan teori evolusinya. Terutama saat merumuskan konsep asal usul spesies dan survival of the fittest.
Atau catatan harian petualangan asal Portugis Tome Pires berjudul Suma Oriental yang mendeskripsikan kota Malaka dan kota-kota di Jawa dan Sumatra. Melalui kesaksian Tome Pires dalam Suma Oriental, kita bisa mendapatkan pengetahuan bahwa Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 sesunguhnya sudah mencapai puncak perdagangan. Malaka sudah menjadi pasar besar bagi perdagangan Asia, termasuk pedagang-pedagang dari Jawa. Tome Pires juga mencatat bahwa banyak keturunan Tionghoa sudah menjadi penguasa di kota-kota seperti Pati di Jawa Tengah.
***
Bertolak dari kekosongan belum pernah diadakannya sebuah simposium yang khusus mendiskusikan buku-buku harian para pelawat atau musafir asing di nusantara yang mempertemukan baik kalangan sejarawan, arkeolog, para penulis sastra, filolog dan lain sebagainya dengan kalangan dunia perhotelan atau pariwisata, maka BWCF tahun 2018 menampilkan tema; Diary & Travelling: Setelah 1300 tahun Buku Harian I-Tsing (Membaca Ulang Kitab-kitab Pelawat Asing tentang Nusantara).
Kami mengambil judul tema ini, Setelah 1300 tahun Buku Harian I-Tsing, karena untuk membicarakan berbagai catatan harian para musafir asing yang menjelajah nusantara, kami ingin berawal dari sebuah catatan harian tua yang ditulis seorang biku Cina terkenal bernama I-Tsing yang pernah melawat ke Sumatra pada abad 7 m. I-Tsing datang ke Sumatra sebanyak dua kali. Dalam perjalanannya dari Chang’an, Cina untuk belajar ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671, ia menetap dulu selama 6 bulan di Sriwijaya (Palembang) dan 2 bulan di Melayu (Jambi). Setelah ia belajar di Universitas Nalanda, ia tak langsung pulang ke Cina namun selama sepuluh tahun, antara 685-695, ia menetap di Sriwijaya untuk menerjemahkan sutra-sutra.
Perhelatan BWCF 2018 yang akan dilaksanakan pada pertengahan November 2018 akan diawali dengan launching buku terjemahan I-Tsing mengenai catatan kehidupan beragama tempat-tempat yang dilaluinya termasuk Sumatra yang berjudul A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and The Malay Archipelago (671-695). Secara khusus buku tersebut diterjemahkan oleh sekelompok komunitas Buddhis yang menjadi mitra kami dalam menyelenggarakan BWCF 2018 dan diterbitkan oleh Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di samping rilis buku terjemahan I-Tsing, dalam Opening BWCF ini, kami juga akan melaunching delapan buku lain yang terutama berkenaan dengan catatan sejarah para pelawat asing di nusantara. Salah satu buku yang akan kami launching misalnya adalah Painting and Description of Batavia in Heydt’s Book of 1744 yang ditulis oleh Prof. Adolf Heuken SJ. Johann Wolfgang Heydt adalah seorang pegawai VOC kelahiran Jerman. Pada tahun 1740-an secara detail ia menggambar suasana bangunan-bangunan yang ada di Batavia. Gambar dan deskripsinya tentang Batavia sangat penting, karena bisa membuat kita membayangkan seperti apa suasana Batavia saat itu. Gambar-gambar dan informasi Heydt sangat dibutuhkan dari segi sejarah karena darinya kita bisa mendapat gambaran sosok dan situasi perkotaan Batavia menjelang kerusuhan dan pembunuhan besar-besaran warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740 oleh pemerintah Belanda. Pada pembukaan BWCF juga akan ditampilkan sebuah pidato kebudayaan yang berkenaan dengan Borobudur dan hal-hal yang belum terkuak darinya.
Simposium sendiri akan berlangsung selama dua hari dengan empat sesi. Antara lain sesi diskusi mengenai buku-buku dan kronik-kronik para pelawat Cina, sesi diskusi catatan-catatan dan buku-buku musafir Muslim di nusantara, diskusi buku-buku dan kronik para pelawat India dan diskusi kitab-kitab serta manuskrip para penulis barat yang mengunjungi atau pernah tinggal di wilayah Indonesia. Kami dalam kesempatan itu akan membahas mulai dari catatan harian Ma Huan, seorang pelawat Cina lain yang pernah mengunjungi Majapahit pada abad 14 sampai ke Rumphius, seorang ahli botani Jerman yang pernah menetap (wafat di Ambon tahun 1702) di Ambon dan menghasilkan karya raksasa, Herbairum Amboinense. Dari karya Atisha, seorang guru besar Universitas Nalanda India yang pernah belajar di Muoro Jambi pada abad ke 8 sampai ke catatan harian Rabindranath Tagore, seorang sastrawan Bengali yang pernah mengunjungi Ki Hajar Dewantoro di Taman Siswa, Yogya pada awal abad 20 dan kemudian melancong ke Bali.
Sebagai sebuah festival yang menggabungkan perayaan dunia literasi dan perayaan dunia seni pertunjukan, sebagaimana BWCF sebelumnya, BWCF 2018 juga tak hanya diisi dengan seminar, simposium dan launching buku tapi juga pentas-pentas seni pertunjukan. Menyesuaikan dengan tema besar, Diary and Traveling, maka tema kuratorial kami untuk seni pertunjukan BWCF 2018 berjudul, Migrasi.
Kami menganggap isyu migrasi adalah isyu penting dunia saat ini. Eropa misalnya dilanda migrasi besar-besaran pengungsi dari Suriah yang menimbulkan berbagai problem ekonomi sosial. Sejarah sosial nusantara sendiri adalah sejarah yang penuh migrasi. Para penduduk nusantara misalnya sebagian besar adalah turunan dari migrasi besar-besaran out of Taiwan yang membawa kultur Astronesia. Jauh sebelumnya homo erecrtus di Jawa seperti Pithecantropus Erectus atau Homo Soloensis adalah makhluk yang menjadi ujung terakhir pengembaraan manusia-manusia setengah kera yang keluar dari Afrika atau Out of Africa.
Maka dari itu, migrasi yang kami maksud adalah Migrasi dalam dimensi yang luas. Di sini tercakup makna diaspora, pengembaraan, perantauan, urbanisasi, pelarian, emigrasi dan lain-lain, baik yang ditimbulkan masalah politik, sosial maupun kekacauan iklim. Borobudur sendiri adalah sebuah candi yang awalnya ditinggalkan dan dibiarkan tertutup hutan karena diperkirakan masyarakat pendukungnya pindah ke kawasan lain karena areal Borobudur terkena erupsi letusan Merapi. Dengan tema Migrasi, kami mengundang para koreografer ternama di nusantara untuk menafsirkan hal-hal yang berkenaan dengan “pengembaraan” dan mementaskan karyanya di panggung Aksobhya, Borobudur. Kami tapi juga membebaskan para koreografer untuk menafsirkan migrasi dalam konteks perjalanan melintasi wilayah geografis itu secara lebih dalam. Migrasi bisa bukan berarti sebatas migrasi fisik tapi juga migrasi ruhani. Sebuah pelawatan dalam jiwa.
Karena tema kali ini menyangkut dunia travelling dan pelancongan, berbeda dengan BWCF terdahulu, kami secara khusus pada BWCF 2018 juga ingin mengundang kalangan para pelaku dunia perhotelan, pariwisata dan tour-tour. Travelling kini telah menjadi sebuah gaya hidup kelas menengah. Travelling sudah menjadi kebutuhan sekunder. Makin ada trend di kalangan anak muda untuk mencari destinasi traveling–traveling alternatif yang tidak sekedar wisata biasa. Di antara yang dipandang sebagai travelling alternatif adalah heritage travelling atau traveling sejarah.
Kami percaya, bahwa materi-materi yang akan didiskusikan di BWCF 2018 bila dikembangkan bisa menjadi sebuah wisata atau pelancongan alternatif. Wisata yang tujuannya bukan hanya menikmati keindahan tapi juga memberikan tambahan gizi pengetahuan dan sejarah. Pembicaraan tentang Rumphius misalnya dapat menginspirasikan suatu wisata menapak-tilasi jejak Rumphius di Ambon, katakanlah mengunjungi sisa-sisa bekas tempat tinggal Rumphius di Hitu yakni di puing-puing Benteng Leidjen (Enkhuijzen). Atau pembicaraan tentang Atisha bisa menginspirasi terciptanya sebuah paket wisata atau cultural trip di situs Candi Muoro Jambi. Atau pembicaraan tentang Wallace bisa menginspirasikan membuat sebuah tour alam menelusuri kembali jejak Wallace di Maros, Sulawesi. BWCF 2018 maka dari itu kami harap bisa menjadi sebuah oase yang mempertemukan kalangan peneliti sejarah, sastrawan dengan kalangan dunia perhotelan, dunia pariwisata, agen-agen perjalanan, lembaga-lembaga turisme, situs-situs online pengelola dunia travel dan sebagainya.
Program
Tim Borobudur Writers and Cultural Festival 2018
Tim Kerja dan Kuratorial
- Romo Mudji Sutrisno, SJ, seorang rohaniwan dan guru besar fi lsafat di STF Driyarkara dan staf pengajar di Universitas Indonesia. Aktif dalam berbagai kegiatan budaya dan keagamaan dan menerbitkan berbagai buku kajian kebudayaan, filsafat dan keagamaan.
- Seno Joko Suyono, adalah redaktur kebudayaan Majalah Tempo. Menempuh pendidikan di bidang filsafat, menulis novel dan buku-buku kebudayaan. Beberapa artikelnya termuat dalam kumpulan buku, seperti Tafsir dalam Permainan (diterbitkan Utan Kayu). Pernah mendapat beasiswa selama musim panas menikmati pertunjukan-pertunjukan teater di New York.
- Imam Muhtarom, lulusan pasca-sarjana di FIB, Universitas Indonesia. Ia menulis dan editor mengenai sastra dan budaya. Bukunya Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan (2007, kumpulan cerpen), Keberlanjutan Reyog Bulkiyo (2017), dan Upacara Larung Sesaji (2018).
- Budhy Munawar-Rachman adalah penulis dan pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS). Mendapat pendidikan dalam bidang filsafat pada STF Driyarkara. Mendirikan dan menjadi Direktur Project on Pluralism and Religious Tolerance, Center for Spirituality and Leadership (CSL). Menulis karangan dalam lebih dari 50 buku di antaranya, Islam Pluralis, Fiqih Lintas Agama (co-author), dan Membela Kebebasan Beragama (2016, editor). Kini bekerja sebagai Program Officer Islam and Development, The Asia Foundation.
- Sudiarto, ketua Sudimuja, sebuah lembaga yang mendedikasikan diri mengungkap Muarajambi sebagai pusat kebudayaan Budha. Lembaga ini dapat diakses di www.sudimuja.com
- Yessy Apriati, bekerja sebagai manajer seni independen. Mengelola Gumarang Sakti Dance Company bersama koreografer Boi G sakti (2001-2009) dan telah pentas di pelbagai pentas di Negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Menjadi manajer festival Indonesia Dance Festival 2004 sampai sekarang.
Panitia Pendukung:
- Dorothea Rosa Herliany, penulis yang sudah menerbitkan 30 buku (puisi, prosa, biografi). Ia juga telah menerima berbagai penghargaan, di antaranya dari Dewan Kesenian Jakarta (2000), Pusat Bahasa Jakarta (2003), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004), Khatulistiwa Literary Award (2006), Cempaka Award (2011), Prasidatama (2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2016), juga grant award dari Asialink dan La Trobe University (2000), Monash University (2002), Heinrich Böll Stiftung (2009), DAAD / Deutscher Akademischer Austausch Dienst (2013) dan Stichting Poets of All Nations (2014).
- Wicaksono Adi, penulis esai seni-budaya, menempuh pendidikan di bidang seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Memiliki pengalaman sebagai jurnalis, mengkuratori beberapa pameran seni rupa, dan menjadi editor buku-buku seni-budaya.
- G. Budi Subanar, Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Doktornya diperoleh dari Universitas Gregoriana Roma, Italia. Bukunya, antara lain Kilasan Kisah Soegijapranata (2012) dan novel berjudul Hilangnya Halaman Rumahku (2013).
- Yudhi Widdyantoro, praktisi yoga dan terlibat dalam banyak program keberagaman di Indonesia.
- Yoke Darmawan, seorang profesional di bidang konsultasi managemen dan proyek pembangunan sumber daya manusia dengan pengalaman lebih dari satu dekade dalam bidang pembinaan dan program pelatihan presentasi kepemimpinan dan tim manajemen di beberapa negara Asia Tenggara. Kini ia dosen di Universitas Stenden untuk siswa overseas Eropa.
- Hartono Aris Munandar, seorang penekun budaya Jawa. Ia sering terlibat dalam program kegiatan kebudayaan di Yogyakarta dan sekitarnya.