Beragam Kegiatan Meriahkan BWCF Ke-6 di Borobudur

(Foto: Dok)

MAGELANG (KRJogja.com) – Rangkaian kegiatan “The 6Th Borobudur Writers and Cultural Festival” (BWCF ke-6) dilaksanakan di sekitar Candi Borobudur Magelang, Jumat (24/11/2017). Beberapa tokoh juga berbicara secara bergantian, kesenian hadrah “Forum Lintas Iman” dari Wonosari Gunungkidul juga ikut menyemarakkan rangkaian acara yang dilaksanakan di Hotel Manohara Borobudur ini.

Sekitar pukul 05.00, Jumat pagi, di pelataran barat Candi Borobudur dilaksanakan Morning Meditation dipimpin Bante Santachitto dan Yudhi Widyantoro. Di salah satu ruangan di komplek Hotel Manohara ditampilkan pameran foto Muaro Jambi, Nalanda dan Vikramasila. Beberapa penerbit juga menggelar pameran buku.

Setelah dilakukan pembukaan, di Ruang Avadhana dilaksanakan seminar. Berbicara pada sesi I adalah Prof Dr Noerhadi Magetsari, Salim Lee dan Dr Niken Wirasanti MSi. Jumat siang dilanjutkan seminar sesi 2 dengan nara sumber diantaranya Prof Dr Lasiyo, Romo J Sudrijanta SJ dan Prof Dr Oman Fathurarahman MHum. Jumat malam di Panggung Aksobya digelar seni pertunjukan.

Sementara itu Dr Niken, salah satu staf pengajar Departemen Arkeologi FIB UGM, kepada KR Jogja.com diantaranya mengatakan  relief yang ada di dinding bangunan Candi Borobudur bukan hanya merupakan sebuah karya dengan berbagai ceritera, tetapi di dalamnya juga terkandung banyak pelajaran yang dapat dirasakan hingga sekarang. (Tha)

 

Editor: Agus Sigit
Terbit Jumat, 24 November 2017 16:31 WIB

Candi Borobudur, Pembumian Naskah Gandawyuha

(Foto: Istimewa)

YOGYAKARTA – Kisah Gandawyuha asli India bagian selatan abad 1 Masehi diadopsi oleh banyak peradaban di seluruh Asia, seperti India, Tiongkok, Jepang, Srilangka, hingga Indonesia. Kisan Gandawyuha menjadi bahasan utama dalam Borobudur Writers Cultural Festival (BWCF) 2017 hari kedua di Hotel Manohara Borobudur, Magelang, Jumat (24/11).

Menurut Pakar Budhidharma, Salim Lee, salah satu yang paling menarik dari Borobudur adalah candi tersebut merupakan pembumian naskah Gandawyuha yang bisa dinikmati dan dipelajari oleh semua orang. Berbeda di negara-negara lain, seperti Tiongkok, Jepang, maupun India, tafsir atas Gandawyuha berada di kuil-kuil yang elitis.

“Di Borobudur, sebagai presentasi kisah Gandawyuha, presentasinya melibatkan pemikiran mendalam, kebaikan tertinggi, dan keahlian seni ukir dari seluruh rakyat. Borobudur adalah peta mencapai potensi tertinggi keberadaan, dan kokoh berdiri di bumi Nusantara,” ungkap Salim Lee, yang menjadi pembicara utama dalam seminar tersebut.

Gandawyuha adalah sutra (teks) utama buddhisme yang mencerminkan keluasan dan kedalaman Dharma ajaran Buddha. Kisahnya bercerita tentang tokoh bernama Sudjana dalam menggapai spiritual tertinggi.

Salim Lee mengatakan bagi orang-orang yang berkeinginan memiliki hidup yang berarti, Borobudur merupakan suatu peta sistematis. Dimulai dari keinginan mendasar seperti kekayaan, dipuji dan berumur panjang, hingga tercapainya kehidupan yang tergugah, hidup dengan kemantapan, kedamaian hati dan welas asih yang menebar kebagiaan untuk semua makhluk.

Di seluruh dunia, sepanjang sejarah, Borobudur adalah satu-satunya kita bisa menemukan kumpulan sutra yang begitu lengkap dan paripurna.

Dibabar dengan sistematis, dengan tahapan dan tujuan jelas, dan dihadirkan pada media ukiran batu pada dinding dan Langkan sebuah Stupa. “Motifnya yang luar biasa, yakni agar sebanyak mungkin orang bisa menjalani laku itu. Keselamatan bagi semua orang,” katanya.

Sementara itu, Arkeolog Balai Pelestari Peninggalan Purbakala, Agus Widiatmoko, dalam Pidato Kebudayaannya menjabarkan hubungan Situs Muarajambi, Situs Nalanda, dan Vikramasila di India. Agus menemukan bahwa Swarna Dwipa yang disebut I-tsing dalam catatan perjalanannya adakan pusat pendidikan ajaran Buddha di Muarajambi.

“Situs Muarajambi adalah bagian dari jaringan situs arkeologis dan historis puncak peradaban dunia. Penting untuk terus membuka konteks pengetahuan di situs tersebut,” katanya. YK/E-3

 

Pewarta YK/E-3 (Koran Jakarta)

Kebangkitan Penghayat Kepercayaan

Penghayat kepercayaan menganut ajaran warisan penutur Austronesia yang datang ke Nusantara ribuan tahun lalu. Namun, mereka diperlakukan seperti tamu.

Pasola, salah satu dari serangkaian upacara tradisional orang Marapu, Sumba, Nusa Tenggara Timur. Foto: Dokumen Keuskupan Weetebula.

LIMA rato (imam Marapu) mengadakan ritual untuk melepas Mikael Keraf ke Yogyakarta. Pastor yang mendalami dan membela hak-hak penganut Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur itu akan membagi pengetahuannya soal Marapu dalam seminar agama-agama Nusantara di acara Borobudur Writers & Cultural Festival, 23-25 November 2017.

Dalam proses itu, seekor ayam dibelah. Lewat usus dan darahnya, ratomembaca apakah misi ini baik atau tidak. Ketika pertanda itu dibaca, burung-burung berterbangan di atap rumah. “Itu burung keila Marapu. Burung suci yang dilindungi itu ribut sekali di atas pertanda saya direstui. Senang sekali saya,” kata Mikael ketika ditemui Historia, di Hotel Manohara, Magelang, seusai acara.

Mikael mengatakan masyarakat Marapu yang hanya dijumpai di Sumba memang akrab dengan tanda-tanda alam. Ada suku yang akrab dengan hujan. Ada pula yang akrab dengan halilintar. Itu karena inti ajaran mereka terpusat pada etika lingkungan, hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan leluhur dan Yang Maha Kuasa.

“Mereka punya hubungan kekerabatan yang kuat sekali dengan kuasa kosmik,” ujarnya.

Apa yang terlihat dari masyarakat Marapu merupakan khas dari agama-agama kuno di Nusantara. Arkeolog Agus Widiatmoko menjelaskan, agama yang telah ada sebelum agama-agama dominan masuk, memegang tiga prinsip: meyakini hubungan antara manusia dengan Yang Kuasa, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan tumbuhan, hewan, dan lingkungan.

“Itulah prinsip dasar agama Nusantara sebelum pengaruh agama luar datang. Jadi, yang namanya agama asli Nusantara konsepnya sama,” ujar Agus.

Keyakinan itu awalnya dibawa para penutur Austronesia yang bermigrasi sekira 4000 tahun lalu dari utara, yaitu Pulau Formosa, Taiwan ke Kepulauan Nusantara. “Tradisinya sama. Seperti makan sirih. Ini orang-orang asli kita,” jelasnya.

Ketika Hindu-Buddha masuk, sebagian penganut budaya Austronesia masih memelihara keyakinannya. Bahkan, hingga kini masih bisa disaksikan di Toraja. Pun di masyarakat Dayak, Kalimantan.

“Hindu Buddha ketika itu tidak mayoritas. Hanya di Jawa dan Bali. Di luar itu sedikit sekali. Di Pulau Nias, kebudayaan asli Nusantara masih ada ketika penjajah datang, termasuk di Toraja,” terangnya.

Bahkan, di wilayah yang mayoritas beragama Hindu pun, ajaran sebelumnya masih muncul dan membaur. Buktinya, Hindu di Bali dan India sangat berbeda. “Makanya di Bali ada konsep tri hita karana. Di India tidak ada. Artinya ada asimilasi,” lanjut Agus.

Tak Diakui

Sayangnya, para penganut ajaran kuno itu seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Mereka mendapat diskriminasi sampai ke tingkat regulasi.

Sudarto, peneliti dari Setara Institute mengatakan, setelah Pemilu pertama tahun 1955, para penghayat kepercayaan jumlahnya meningkat hingga 350 kelompok. Mereka dikonsolidasi oleh mantan Wakil Perdana Menteri KRT Wongsonegoro. Sebelumnya, pada 1951, dia mengadakan kongres kebatinan di Solo. Dia memaknai apa yang dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 UUD 1945 adalah ajaran kebatinan.

“Agama lokal menguat. Dalam kongres kedua dikuatkan lagi. Jadi, pasal 29 itu untuk mengakomodir kepercayaan ini,” jelas Sudarto.

Namun, pengertian itu mendapat penentangan. Menurut Sudarto, mereka yang menentang mengartikan dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 adalah sekte-sekte dalam Islam, seperti Sunni dan Syiah.

Menguatnya pengaruh kelompok penghayat kepercayaan membuat gelisah penganut agama mayoritas. Akhirnya, pada 1962 Kementerian Agama membuat definisi agama berdasarkan pendapat Menteri Agama Mukti Ali. “Agama itu harus punya Tuhan, harus punya kitab suci, harus dogmatis, harus punya nabi. Kepercayaan pun dianggap sempalan,” kata Sudarto.

Efeknya, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, para penganut kepercayaan yang tak sesuai definisi agama dianggap tak punya agama. Mereka dianggap komunis. “Yang artinya PKI. Jadi kalau mau hidup harus memilih di antara agama yang diakui itu,” kata Sudarto.

Pada tahun itu pula lahir UU PNPS No. 1/1965. Isinya tentang penodaan agama dan melindungi agama yang diakui pemerintah dari ajaran-ajaran penghayat kepercayaan. “Ini adalah awal dari tidak diakuinya agama para penghayat kepercayaan secara regulatif,” kata Sudarto.

Penghayat kepercayaan pun memasuki masa kritis. Pada 1967, bahkan Kong Hu Cu pun tak disebut agama karena indentik dengan Tiongkok dan komunis. Ramai-ramai penganut Kong Hu Cu pindah agama. Jumlah penganut Katolik dan Kristen meningkat tajam dari 3 persen menjadi 6-7 persen.

“Orang Kong Hu Cu tidak mau masuk Islam karena perbedaan kultur yang tajam. Maka mencuatlah isu Kristenisasi, resahlah orang Islam. Tahun itu terjadi pembakaran gereja pertama di Aceh, disusul Palembang dan Makassar,” kata Sudarto.

Cara Bertahan

Para penghayat kepercayaan sulit mendapat hak-hak sebagai warga negara seperti identitas keagamaan, pencatatan sipil atas pernikahan, akte kelahiran, hak pendidikan, termasuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Akhirnya banyak yang terpaksa beralih agama hanya agar mendapat hak-haknya.

Hal itu disampaikan Mikael Keraf setelah 2,5 tahun mendampingi komunitas Marapu. Mereka baru bisa mengakses pendidikan, hak-hak sosial, tabungan di bank, hanya jika menulis kolom agama dengan agama yang diakui negara.

“Ada kesadaran kalau komunitas ini termarjinalkan terutama dari agama mayor juga dari komunitas modern. Mereka susah mendapat hak politik, hak sosial, tak punya akses ke bank dan akses ke pendidikan tinggi,” jelas Mikael.

Lebih ekstrim lagi, penganut Kaharingan di Kalimantan bahkan sampai menyusun kitab suci pada 1980-an agar dianggap beragama. Dalam usaha itu mereka dibantu antropolog Jerman dan Indonesia. “Menarik sekali, mana yang dimasukkan ke kitab, mana yang tidak. Ada perdebatan mengenai mana cerita yang dimasukkan,” ujar Marko Mahin, aktivis di Lembaga Studi Dayak-21.

Pada 1980-an, mereka ramai-ramai datang ke Bali untuk menjadi penganut Hindu Kaharingan. Sebelumnya, kata Marko, masyarakat Kaharingan sempat mendatangi Islam dan Kristen. Namun, mereka diminta melepas kepercayaan Kaharingan mereka.

“Islam tidak makan babi, mereka makan. Tanpa khotbah, tanpa ceramah, jumlah penganut Hindu meningkat jadi 300,” kata Marko.

Sementara itu, masyarakat Parmalim yang menganut Agama Malim lebih memilih Kristen. Ferry Wira Padang, direktur Aliansi Sumut Bersatu (ABS) mengatakan usaha itu dilakukan supaya lebih mudah menerima pendidikan. Meskipun demikian, mereka tetap menjaga eksistensi ajaran Agama Malim salah satunya dengan cara memberikan kelas setiap Sabtu dan Minggu.

“Tiap komunitas Parmalim ada guru yang bertugas mewariskan nilai-nilai itu,” ujar Ferry yang dalam empat tahun ini bekerja untuk inklusi sosial penghayat kepercayaan di Sumatra Utara.

Jumlah penghayat kepercayaan mencapai puncaknya pada 1972 dengan 644 kelompok yang terdaftar di Sekretariat Kerjasama Kepercayaan. Namun, jumlahnya kemudian menurun. Pada 2003, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat tinggal 245 kelompok. Tiga tahun kemudian turun menjadi 214 kelompok. Sejak 2016 tinggal 186 kelompok. Kini, tercatat 12 juta jiwa yang terdaftar sebagai penganut aliran kepercayaan di bawah naungan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI).

Mikael mencatat hanya tinggal 12 persen penduduk Sumba yang masih menganut Marapu. Mereka didominasi oleh generasi tua. Sisanya menganut agama-agama mayor seperti Katolik, Protestan, Islam, dan sedikit Hindu. Marko mencatat penganut Kaharingan hanya delapan persen dari total penduduk Kalimantan Tengah. Sedangkan jumlah Parmalim sekira 20.000 jiwa tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Respons Keputusan MK

Melihat sejarahnya, kata Sudarto, ada dua masalah mengapa penghayat kepercayaan sulit diterima: kekhawatiran agama besar jumlah penganutnya berkurang dan masalah dalam memahami agama dan kepercayaan.

“Jangankan rakyat, pejabat saja tidak bisa membedakan. Tuhan tidak pernah mendefinisikan agama itu apa. Agama dimasukkan dalam studi agamanya Barat. Ciri-cirinya punya Tuhan, nabi, kitab suci; kalau tidak punya, tidak dianggap agama,” kata Sudarto.

Sudarto menduga, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan bisa masuk ke kolom agama di KTP, akan banyak orang yang kembali kepada kepercayaan awalnya. “Jangan-jangan yang 87,15 persen Islam bisa jadi tinggal 60 persen saja di Indonesia, yang kejawen juga mungkin akan menikmati ruang ini,” kata Sudarto.

Meski ada yang menganggap sebagai momentum penguatan bagi penghayat kepercayaan, tetapi ada pula yang curiga. Seperti sebagian penganut Kaharingan. “Hasil keputusan MK ini dicurigai seperti teknik memancing macan turun dari gunung. Tinggal pukul-pukul kepalanya, selesai,” kata Marko.

Kendati begitu, yang menyambut gembira lebih banyak. Mereka pun tak perlu lagi mencantumkan “Hindu” di kolom agama pada KTP mereka. “Tapi ada juga elite Kaharingan yang sudah terlanjur enak di Hindu, mereka menolak,” ujar Marko.

Mikael pun yakin warga Marapu sangat ingin mencatumkan “Marapu” di kolom agama pada KTP mereka. Bahkan, mereka tengah mempersiapkan merayakan keputusan MK di Festival Waikumba ke-6 pada 1-3 Desember 2017. Acara itu jadi momentum untuk mensosialisasikan keputusan MK sekaligus deklarasi eksistensi Marapu di Sumba.

Mikael optimistis semua yang diam karena dominasi Katolik dan Kristen akan kembali bangkit bersama agama yang telah terdiskriminasi sebelumnya. “Ternyata mereka tetap Marapu. Setelah ini akan banyak orang mengaku Marapu. Apa itu sinkretisme, bagi saya, kita tidak bisa lepas dari akar sejarahnya,” ujarnya.

 

Pewarta: Risa Herdahita Putri (historia.id)
Terbit Rabu 29 November 2017 WIB

Laura Romano: Spiritualis Jawa dari Negeri Pizza

Laura Romano (memegang mik) saat menyampaikan pengalamannya sebagai spiritualis Sumarah. (Foto: T-Kh)

[Magelang -elsaonline.com] Dari tampilan luar, jelaslah bahwa wanita tersebut bukanlah orang Indonesia. Apalagi kalau kita tahu namanya, Laura Romano. Menilik nama belakangnya, orang akan menebak pasti, kalau wanita berusia 65-an tahun itu berasal dari Italia. Persis. Laura berasal dari negeri pizza, tetapi sudah lebih dari 40 tahun menjadi warga negara Indonesia.

Laura tak sekadar berganti kewarganegaraan. Ia betul-betul jatuh cinta pada budaya Nusantara. Ia mendalami Sumarah, yang ia sebut sebagai “… a philosophy, a form of meditation, and a way of life originating from Java.” Ia kemudian menulis sebuah buku tentang Sumarah serta bagaimana ia melewati kehidupannya sebagai penganut Sumarah sejak 1975.

Laura datang ke Indonesia saat menjadi mahasiswa filsafat di sebuah Universitas di Italia. Singkat cerita, Laura kemudian tinggal di Solo dan mendalami Sumarah. Suwondo Hardosaputro merupakan pamongnya. Dalam Sumarah, tidak dikenal guru, hanya pamong yang menuntunnya. Sejak tahun 1990-an, Laura aktif membuat workshop dan praktik meditasi Sumarah di Eropa.

“I’m not a spiritual seeker pada awalnya,” Laura memulai ceritanya saat ia mempresentasikan tentang Sumarah pada acara Borobudur Writer and Cultural Festival 25 November 2017 kemarin di Magelang, Jawa Tengah.

Bahkan, mungkin ia dekat dengan ateisme. “Saya saat itu berpikir bahwa orang yang menggumuli spiritualitas adalah mereka yang lari dari kenyataan karena tidak mampu mencari solusi atas persoalan hidup. Itu pikiran awal saya tentang mereka yang berkutat dengan kerohanian,” tambahnya.

Orang-orang Eropa biasanya mencari makna batin ke India, sekaligus jalan-jalan tentunya. Tapi Laura kemudian juga datang ke Indonesia dan sampai di Solo. Baginya, Solo memercikkan suasana yang berbeda. “Ada suasana yang sangat rileks serta kesan kebudayaan yang sangat dalam,” kata Laura.

Bagi masyarakat Jawa, yang lebih ditekankan adalah soal rasa. “Jadi hidup itu bukan dipikir, tapi dirasa,” tegasnya. Rasa memiliki peran sentral dalam laku masyarakat Jawa. Di Barat, rasa itu dimaksudkan sebagai emosi untuk menjadi lawan dari rasio atau pikir. Padahal dalam kamus orang Jawa, rasa itu bukan emosi.

Di Sumarah, Laura menemukan proses meditasi dan pendalaman spiritualitas yang sangat mengena. “Fokus meditasinya ke dalam. Dengan relaksasi mendalam, membuat mereka lebih fokus. Orang-orang Barat lebih tertarik dengan Sumarah karenanya,” kata Laura yang kemudian menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Sumarah: Spiritual Wisdom from Java.

Sumarah itu artinya pasrah. Tapi kata Laura, pasrah disini bukan berarti sikap fatalistik. Pasrah dalam ajaran Sumarah merupakan kondisi dalam. “Pasrah itu koma, bukan titik,” Laura mengibaratkan. Baginya, mengalami sesuatu itu lebih penting dari sekadar meyakini. Disinilah pentingnya memahami bahwa ada dimensi lain selain yang bisa dilihat, diraba dan lainnya.

Karena fokus ke dalam, maka pemahaman Laura terhadap yang Maha Kuasa juga menjadi sangat esensialis. Tuhan itu, kata Laura, lebih dari sekadar definisi tentangNya. “Semakin kita berhasil mendefinisikan Tuhan, maka sesungguhnya kita gagal memahamiNya,” ujarnya. [T-Kh/001]

 

Pewarta: T-Kh (elsaonline.com)
Terbit Senin, 27 November 2017

Arkeolog Menjawab Klaim Borobudur Sebagai Peninggalan Nabi Sulaiman

(Foto: Ngasiran)

Isu Mandala Agung Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman telah lama merisaukan masyarakat dan dianggap sebagai bentuk pembodohan publik. Hal ini berawal ketika Fahmi Basya yang mengeluarkan buku Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman.

Klaim seperti ini janggal bagi kebanyakan orang yang melek ilmu pengetahuan, apalagi bukti-bukti sudah sangat menjelaskan bahwa Mandala Agung Borobudur adalah Candi Buddha. Dalam sesi seminar Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2017 pada Jumat (24/11), klaim ini sempat menjadi diskusi yang menarik.

Dr. Niken Wirasanti

Dr. Niken Wirasanti, seorang dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam sesi “Gandawyuha dan Esoterisme Borobudur”, sempat bercerita bagaimana kegaduhan dalam diskusi yang menghadirkan Fahmi Basya di UGM.

“Beberapa waktu yang lalu, fakultas arkeologi UGM mengundang Fahmi Basya dalam seminar Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman. Saya biarkan saja mereka mau memanggil Si Fahmi. Saya mengatakan kepada mahasiswa bacalah sampai khatam (utuh). Mengapa ada arca? Bolehkah Islam menggambarkan arca? Kemudian mereka bingung. Jadi, ya saya biarkan saja mereka mencari jati dirinya,” terang dosen berjilbab ini.

“Saat seminar itu terjadi, saya sendiri hadir. Luar biasa audiensnya, ada yang pro Fahmi dan ada yang kontra Fahmi. Dia mempelajari tentang tanda matematika. Jadi matematika itu dipelajari, dihitung-hitung ada 72. Jadi, 72 itu dipelajari dari apa-apa-apa, pokoknya ada unsur matematika di Borobudur. Tapi mereka lupa bahwa di Buddha dan Hindu juga ada matematikanya!” kelakarnya.

Tetapi menurut Niken, satu hal yang mereka ceroboh adalah tentang prasasti, “Kalau itu peninggalan Islam kan pasti prasastinya berbahasa Arab. Tapi prasasti tentang Borobudur ini kan tulisan Jawa kuno. Di relief Karmawibhangga itu juga Jawa kuno. Yang saya tidak habis pikir juga kenapa mereka memakai istilah stupa juga untuk menjelaskan bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman, kenapa tidak memakai istilah yang lebih Islami gitu?” pungkasnya.

Goenawan A. Sambodo (berkacamata)

Sementara itu pendapat lain diutarakan Goenawan A. Sambodo, seorang arkeolog lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada yang beberapa waktu lalu ditemui oleh BuddhaZine di sela-sela ekspedisi candi kuno di sekitaran Temanggung.

Menurutnya, boleh saja orang berpendapat. Kita harus menyikapi ini, ya biasa-biasa saja. Dalam artian, seperti itu adalah isme yang dikembangkan oleh orang-orang untuk memaksakan kedunguan isme-nya.

“Meskipun mereka mempunyai dasar matematika Islamlah, penelitianlah, apalah, dengan segala macam tetek bengeknya. Tetapi kan itu sudah jelas-jelas peninggalan Buddha terlepas Mahayana atau Tantra. Banyak referensi ilmiah mengatakan bahwa ini Candi Buddha,” ungkap ahli aksara Jawa kuno yang akrab dipanggil Mbah Gun ini.

Meskipun demikian, menurutnya hal ini juga harus disikapi. “Tapi yang menjadi masalah, (klaim) Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman ini sudah menjadi wabah ke sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan Islam. Ini yang perlu disikapi, dengan menulis blog atau mungkin perjalanan seperti ini dengan dokumentasi video. Bagaimana cerita Gandawyuha, Lalitavistara, Jataka Avadana yang ada di relief-relief Borobudur itu,” tambah Mbah Gun.

Sebenarnya, menanggapi klaim ini, para arkeolog pun berusaha untuk mengambil sikap dengan mengajak diskusi Fahmi Basya. Tetapi selama ini, menurut Mbah Gun, si penulis buku itu tidak pernah mau hadir dan berdiskusi bersama.

*) BuddhaZine adalah media partner BWCF 2017

Pewarta: Ngasiran (Buddhazine.com)
Terbit Jumat, 24 November 2017 21.53 PM

Relief Gandawyuha Bukti Sejarah Tua Toleransi di Nusantara

Romo Mudji membacakan pidato kebudayaan. (Foto: Ngasiran)

Sejarah peradaban bangsa Indonesia telah ada sejak ribuan tahun lalu. Bukti kebesaran nenek moyang bangsa Indonesia saat ini salah satunya adalah Mandala Agung Borobudur. Bukan hanya mengagumkan secara bentuk bangunan, pahatan batu dan arsitektur candi, tetapi banyak nilai yang terkandung di dalamnya yang menunjukkan kebesaran budaya Nusantara.

Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) keenam tahun ini mengangkat tema “Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara”.

Gandawyuha merupakan tema utama dari Mandala Agung Borobudur. Pada Candi Borobudur, Gandawyuha dijelaskan melalui relief Borobudur pada lorong 2, 3, dan 4 yang keseluruhannya terdapat 460 panel.

Salim Lee saat konferensi pers.

Mengapa Gandawyuha menjadi tema utama Candi Borobudur dan dipahatkan begitu lengkap? Salim Lee, cendekiawan Buddhis yang berdedikasi pada Sutra-sutra Mahayana menjelaskan ada tiga hal penting mengapa nenek moyang bangsa Nusantara mengangkat Gandawyuha dalam Candi Borobudur.

“Gandawyuha tema utama di Borobudur, sayang tidak banyak orang yang menghargai. Borobudur itu sendiri setelah kita tinjau dari segi aspek keagamaan, lalu dipertanyakan mengapa Borobudur mengangkat Gandawyuha?

“Dalam mengkaji ini, ada tiga hal yang luar biasa mengenai Borobudur yang biasanya orang hanya mengatakan banyaknya relief, luas, dan sifatnya. Pertama, Borobudur pengejawantahan kebudayaan Nusantara yang sangat ramah, kokoh, tapi sangat akomodatif. Agama Buddha dan Hindu saat itu adalah agama dari luar, tetapi karena kuatnya budaya Nusantara kala itu, kita bisa lihat Borobudur tetap bergaya Indonesia.

“Kedua, agama yang datang ke Nusantara benar-benar ditelaah, tidak diterima secara gelondongan. Saat itu Gandawyuha sangat populer di India. Raja India sendiri pernah menulis Gandawyuha dengan tangannya sendiri dan diserahkan kepada Kaisar Tiongkok karena dianggap Sutra yang menunjukkan betapa dalamnya ajaran Buddha. Di Tiongkok sendiri, Gandawyuha sangat terkenal, tetapi dalam bentuk meditasi. Tetapi di Borobudur yang lebih ditonjolkan adalah sikap peduli dan bermasyarakat. Kompas moral kalau saya katakan.

“Ketiga, bangsa Nusantara bisa menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang datang. Di Borobudur tidak ada ukiran yang asing, semua berciri khas kita. Jadi, Borobudur bisa seperti ini karena kuatnya budaya kita saat itu,” jelasnya dalam konferensi pers BWCF 2017 pada Kamis (23/11) di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta.

Untuk mempelajari lebih mendalam relief Gandawyuha, Salim Lee akan membabar Gandawyuha in situ Borobudur pada hari Sabtu (25/11) pagi.

Sementara itu, Romo Mudji Sutrisno dalam pidato kebudayaannya menyampaikan bahwa Gandawyuha merupakan rujukan tertua di Nusantara bagi toleransi. “Kita tahu bahwa semboyan negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Ini diambil dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Tetapi jauh sebelum Sutasoma ditulis, sesungguhnya relief Gandawyuha di Borobudur telah menggambarkan benih-benih nilai toleransi,” ujarnya.

Oleh karena itu, sangat sesuai mengkaji nilai-nilai toleransi seperti dalam pencarian spiritual Sudhana dalam Sutra Gandawyuha.

“Pada zaman ini, kita makin kehilangan guru-guru bangsa yang mampu menyuarakan visi spiritualis dan toleransi yang memberi perasaan kedamaian bagi semua orang. Indonesia ini adalah tempat berseminya banyak spiritual.

“Terdapat kemajemukan religi luar biasa di sini. Saya percaya pada titik pencarian dan pendakian sangkan paraning dumadi sebagaimana yang ditapaki Sudhana, pengalaman religiusitas yang dialami semua agama atau semua penghayat pada dasarnya memiliki benang merah,” tuturnya.

Mengakhiri pidato kebudayaannya, Romo Mudji Sutrisno berharap, melalui pemahaman Gandawyuha di tengah pertumbuhan produksi dan budaya konsumerisme yang tak terkendali tetapi tidak mengesampingkan inti pencarian spiritual yang penuh nilai kedermawanan dan kemurahan hati.

Borobudur Writers and Cultural Festival 2017 sendiri dibuka di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta pada Kamis (23/11). Acara ini akan berlangsung selama 3 hari (23-25 November) yang akan dilaksanakan di beberapa tempat dengan beragam kegiatan, di antaranya meditasi pagi, seminar, ceramah umum, pentas seni, dan lain-lain.

 

Pewarta: Ngasiran (Buddhazine.com)
Terbit Jumat, 24 November 2017 7.52 AM

Pembangunan Borobudur untuk Hargai Nilai-nilai Kemanusiaan

Sejumlah pelajar mengunjungi Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (19/5/2016). (ANTARA FOTO/Ivan Pramana Putra)

Magelang, ANTARA JATENG – Pembangunan Candi Borobudur bertujuan untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan, memberi marga untuk hidup yang bermakna dan mewujudkan masyarakat yang bertoleransi, damai, dan sejahtera, kata pengajar di Potowa Center Jakarta, Salim Lee.

“Fungsinya sebagai bhumisambhara, ladang pengumpulan benih dan daya kebajikan, sebagai contoh dan sarana untuk membumikan ajaran dan dharma sebagai arah dan pegangan hidup,” katanya di Magelang, Jumat.

Ia menyampaikan hal tersebut pada Borobudur Writers and Cultural Festival 2017 dengan tema “Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-Agama Nusantara”, katanya.

Selain itu, katanya sebagai sumber pembelajaran yang memungkinkan dicapainya potensi tertinggi keberadaan manusia, sebagai ajaran tentang kepedulian, toleransi dan kemajukan untuk hidup bermanfaat di tengah masyarakat, dan sebagai perwujudan nyata hasil mahakarya yang menampilkan seni dan budaya lokal dengan standar mutu yang sangat tinggi.

Ia menuturkan gandawyuha dipilih sebagai sutra utama di Borobudur karena merupakan salah satu sutra yang mencerminkan keluasan dan kedalaman darma ajaran Buddha.

Menurut dia gandawyuda dipelajari dan dihayati oleh banyak umat di berbagai negara di Asia, diterjemahkan berkali-kali dari bahasa Sansekerta ke beberapa bahasa dan dalam kurun waktu beberapa abad menjadi pedoman bagi umat awam, para sangha, masyarakat umum maupun para raja.

Ia mengatakan gandawyuha di Borobudur merupakan tantangan tetapi sekaligus kesempatan yang luar biasa untuk membabarkan kerangka ajaran Buddha secara bertahap, lengkap, dan menyeluruh.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Niken Wirasanti mengatakan arsitektur Candi Borobudur dengan fokus pada relief naratif gandawyuha memiliki peran penting sebagai penanda dan menggambarkan perjalanan spiritual tokoh Sudhana.

Pengembaraan Sudhana tanpa lelah dalam upayanya menyingkirkan hasrat duniawi melalui jalan delapan telah dilalui hingga tahap terpenting adalah konsentrasi yang benar (samadhi).

Ia mengatakan keteguhan Sudhana berguru kepada sejumlah guru dan orang-orang bijaksana dalam upaya menggapai nirwana merupakan contoh yang tepat bagi siapa pun peziarah yang menelusuri lorong-lorong Candi Borobudur tingkat dua, tiga, dan empat sebelum memasuki dunia tanpa rupa.

Pewarta : Heru Suyitno (Antarajateng)
Terbit Sabtu, 25 November 2017 06:59 WIB

BWCF 2017: Seminar

BWCF 2017: Penutupan