Bhūmiśodhana

Ekologi dan Bencana Dalam Refelksi Kebudayaan Nusantara

Alam bagi masyarakat Nusantara bukan sekedar sebagai tempat tinggal, tempat lahir, tempat mati dan tempat hidup yang berkembang, tetapi alam adalah guru terbaik yang memberikan tuntunan dalam menjalankan hidup. Alam yang kaya akan makna falsafah menambah kualitas ketinggian pikiran dan budi masyarakat Nusantara.

Belajar dari semua hal yang ditemui di alam, yang didengarkan serta yang dirasakan, baik dari makhluk hidup maupun dari benda mati, alam telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan untuk keberlangsungan kehidupan, juga mengajarkan tentang kepekaan memaknai hal- hal yang terjadi pada alam terkembang.

Dalam penyelenggaraan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke 9 di tahun 2020 ini, tema yang diusung adalah Bhūmiśodhana, Ekologi dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara.

Bhūmiśodhana atau bhūśodhana adalah sebuah kata majemuk Sanskerta. Ia terdiri dari kata bhū atau bhūmi, berarti bumi atau tanah, dan kata śodhana yang berasal dari akar kata √śudh, berarti membersihkan, atau menyucikan. Oleh karena itu, secara harfiah ungkapan bhūmiśodhana atau bhūśodhana berarti membersihkan, atau menyucikan bumi.

Upacara penyucian bumi (tanah) yang mulai dilakukan para petapa sejak masa purwakala. Berawal untuk menentukan tempat berpijak dan hak bagi manusia, sampai untuk penyucian bumi dari aspek-aspek buruk yang telah ditimbulkan oleh manusianya sendiri. Sebab sang bumi adalah yang memberi kehidupan pada dunia sebagaimana hukum kehidupan, sang bumi wajib memberi apa yang harus diberi, dan meminta apa yang harus diminta. Karena manusia makhluk yang paling banyak mengambil keuntungan dari bumi, maka hendaklah mempersembahkan lebih banyak kepada bumi. Dengan kata lain manusia wajib merawat bumi agar kehidupan dapat terus berkelanjutan.

Sementara dalam ilmu ekologi yang mempelajari ekosistem makhluk hidup, atau pengetahuan komprehensif hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang terdapat interaksi, ketergantungan, keanekaragaman, keharmonisan dan kemampuan berkelanjutan, maka kembali manusia sangat berperan menjaga keseimbangan ditengah tuntutan industri modern yang semakin tinggi.

Menjaga keseimbangan ekologi ini juga telah ditulis dalam manuskrip kuno Nusantara, ragam pengetahuan telah dicatat, seperti antisipasi dan peringatan akan terjadinya bencana, mitigasi menghadapi bencana, ketersediaan bahan obat-obatan dan pangan dari tumbuhan dan hewan lokal, petunjuk mengolah tanah untuk berladang, dan banyak pengetahuan ekologi budaya lainnya.

Untuk itu, dalam perhelatan BWCF ke 9 ini, para ahli lintas disiplin ilmu akan memaparkan kiat-kiat mengelola dan melestarikan lingkungan dalam tradisi Nusantara. Mengkaji dan menelaah kembali kearifan lokal dari berbagai aspek sebagai wujud penghormatan kepada sang bumi dan segenap isi alam.